Monday, September 29, 2014

Membawa semangat gerakan Jati Rasa ke tanah Papua.


Membawa semangat gerakan Jati Rasa ke tanah Papua

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Baru-baru ini, di akhir pekan lalu, tanggal 26-27 September,  saya membawa 13 sahabat-sahabat kecil saya, adik-adik dari Serui, Papua untuk belajar di alam jati rasa. Seperti sudah saya jelaskan, Griya Jati Rasa terletak di Sleman Yogyakarta. Sedangkan Pondok Jati Rasa, rumah pusaka berada di Alas Wegode di atas tebing menghadap laut selatan. Alas dalam bahasa Jawa berarti hutan. Wegode artinya besar. Di sini, pada tahun 2004, kami memindahkan rumah pusaka, bangunan limasan yang dibangun tahun 1822, rumah dari kakek buyut saya di desa Taji Prambanan ke Alas Wegode. Hutan yang melingkupi 10 ha inilah yang saya maksudkan dengan alam jati rasa.

Adik-adik dari Serui, Papua sedang mengikuti program magang di Universitas Kristen Duta Wacana. Mereka adalah pelajar dari Sekolah Menengah Kejuruan Kristen di Serui, Papua.  Sebelum mereka ke alam Jati Rasa, ada tiga kali mereka melakukan pertemuan di Pondok Tali Rasa.  Pondok Tali Rasa adalah pendopo di mana kegiatan pertemuan untuk belajar bersama bisa dilakukan.  Kegiatan Griya Jati Rasa menggunakan pendopo Pondok Tali Rasa untuk melakukan tiga kali pertemuan dengan adik-adik dari SMK Serui.  Pertemuan pertama pada tanggal 10 September 2014 dengan topik, “Mengalami warna dan pewarnaan”.  Pertemuan kedua, tanggal 19 September 2014 dengan topik “Mengenal bentuk, bahan obyek dan memvisualisasikannya”.  Tanggal 24 September 2014, topik bahasan adalah “Mengamati wajah dan Mengekspresikan wajah dalam gambar”.   Ketika mereka berada di alam jati rasa selama 24 jam, ada serangkaian aktivitas dengan topik “Menemukan Jati Diri dan Keselarasan dengan alam raya”.  Tulisan ini hadir belakangan tetapi pada saat kegiatan dilakukan saya langsung memposting prosesnya melalui jejaring “Instagram” yang disebarkan melalui Facebook dan Twitter. Tujuan penyampaian proses kegiatan langsung adalah untuk mendorong proses pembelajaran publik demi penguatan pencarian diri mereka yang terlibat langsung dalam proses belajar tsb. Dalam pertemuan di alam jati rasa, tiga adik-adik Serui berhalangan hadir karena sakit, tetapi mereka terlibat dalam kegiatan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya di Griya Jati Rasa di Sleman.

Tinggal selama 24 jam di Pondok Jati Rasa memberikan pengalaman yang berbeda kepada sahabat-sahabat saya, juga kepada kami, pak Tumijo, bu Sarijem dan saya. Pak Tumijo dan bu Sarijem adalah sepasang suami isteri yang menjaga alam jati rasa.  Mereka dibesarkan di Alas Wegode. Ketika adik-adik Serui dan saya tiba, kami diterima oleh pak Tumijo dan bu Sarijem.  Kekagetan adik-adik Papua masih belum sirna, karena jalan ke situ harus melewati tanjakan terjal dengan perjalanan mobil yang menantang. Tetapi saya sudah biasa menyopir di medan yang bergelombang ini.  Musim kering menyebabkan dedaunan jati menutupi jalan paving block sehingga menimbulkan musik ketika ban mobil mengngilasnya. Tetapi suara gemercik dedaunan itu segera terhapus sesudah kita tiba di Pondok Jati Rasa yang dibangun sangat dekat dengan tebing menghadap laut selatan. Ombaknya yang memecah di bebatuan seolah menghapus jejak dari  perjalanan melewati dedaunan jati yang menutupi jalan mobil ke sana. Adik-adik Papua bertanya bagaimana bisa membuat rumah di sini. Saya kemudian menjelaskan tentang sejarah rumah pusaka.  Tetapi yang membuat mereka terkagum tentang kejatidirian manusia ternyata menyatu dengan alam adalah cerita tentang menentukan lokasi di mana Pondok Jati Rasa berada.

Ceritanya begini. Suatu hari, di tahun 2003 ketika kami mulai mempersiapkan lokasi untuk rumah yang akan di bangun sesudah infrastruktur jalan dibangun. Gunung harus dibentangkan supaya bisa dilewati mobil. Kami berencana memilih lokasi di lahan yang sekarang adalah rumah kecil untuk pak Tumijo dan bu Sarijem. Tetapi suatu hari, pak Bernie dan saya berjalan ke tanah belukar yang ditutupi oleh alang-alang. Ketika kami berada di sana, tiba-tiba saya merasa sangat ngantuk. Saya kemudian memutuskan tidur. Saya membaringkan diri di atas alang-alang dan tertidur pulas kurang lebih 45 menit. Pak Bernie sangat heran karena saya bisa tidur sangat nyenyak di atas alang-alang sekalipun tubuh dibungkus oleh sinar mentari sore yang masih cukup panas. Ketika saya terbangun saya sangat bahagia. Pak Bernie bertanya apa yang saya rasakan. Saya katakan. Saya tidur nyenyak dan sekarang sudah segar lagi.  Kejadian ini menyebabkan pak Bernie akhirnya memutuskan memindahkan lokasi rumah pusaka Pondok Jati Rasa ke tempat saya tidur. Sekarang Pondok Jati Rasa berdiri di tempat saya pernah tidur. Pikiran pak Bernie, kalau saya bisa tidur nyenyak berbantalan alang-alang berarti lokasi ini aman untuk dibangun rumah di sana.  Kemudian sesudah rumah pusaka di bangun di lokasi sekarang, bu Sarijem yang mulai menjaga di sana bercerita bahwa ia menghabiskan masa kecilnya di lokasi ini karena kakek dan neneknya membangun rumah kecil untuk tinggal selama masa tanam padi.  Dari perspektif bu Sarijem, mungkin kakek neneknya menyambut kami membangun rumah pusaka dan cucunya yang menjaga.

Cerita ini adalah salah satu dari sambutan yang saya bagikan kepada adik-adik Papua.  Ada beberapa yang tinggal di pulau-pulau kecil mengelilingi pulau Serui. Misalkan seorang adik bernama Rita Mambai yang rumahnya dekat pantai di Serui. Tetapi ketika Rita tidur bermalam di Pondok Jati Rasa, Rita belajar kembali menyatukan ritme ombak yang bergemuruh dengan pengalaman dari ombak yang lembut di Serui. Adik-adik Papua mengalami pengalaman baru, karena mereka belajar untuk tidur dengan suara ombak yang memecah, yang dirasakan menakutkan bagi mereka.  Saya terbangun tengah malam dan berjalan menyelimuti mereka karena hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami membuat perapian untuk menghangatkan ruangan tetapi apinya sudah padam ketika saya terbangun tengah malam. 

Kami membahas rencana kegiatannya bersama.  Belajar hidup dengan alam menjadi focus kegiatan. Kami menghabiskan waktu  masing-masing dua jam setengah di berkelilingi hutan alam Jati Rasa dan bercanda dengan laut di pantai Parangtritis.  Pagi hari sebelum kami berjalan saya membacakan Kitab Kejadian tentang Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya untuk kami renungkan bersama. Kemudian pada saat makan pagi, adik Ira Rahmawati memimpin doa dalam bahasa Arab untuk memohonkan berkat bagi kesehatan dan kehidupan kita semua. Di antara 16 adik-adik Papua, ada 2 orang yang beragama Islam. Ketika kami masih melakukan kegiatan di Griya Jati Rasa di Sleman, Ira Rahmawati juga memimpin lagu shawalat dan doa untuk mengakhiri salah satu kegiatan pertemuan pada waktu itu.  Keselarasan kehidupan dimulai dengan tindakan hidup untuk mengundang Tuhan,  memuliakanNya dan mendamaikan diri pribadi seorang manusia sehingga bisa memberikan ruang kasih sayang diisi oleh seorang yang berbeda secara fisik, warna kulit, gender, ideologi maupun agama.

Saya menulis cerita ini untuk sahabat-sahabat kecil saya, adik-adik dari Serui, Papua, karena mereka adalah calon pemimpin bangsa. Saya selalu akan ingat mereka ketika tidur berbantalan daun jati di alam Jati Rasa.  Ketika itu kami dalam perjalanan mengelilingi hutan, saya bercerita tentang jati dan daun jati kemudian saya mengajak mereka tidur. Hehehe mereka langsung tidur sementara saya mengabadikan foto mereka. Saya juga ingat ketika menjelaskan tentang "parenting tree", yaitu pohon Epe, pohon yang tertua di alam Jati Rasa. Berbeda dengan karakter daun jati yang menggugur pada musim kering, pohon Epe selalu berdaun hijau segar pada dedaunan baru di musim kering. Ketika saya menjelaskan tentang pohon Epe, kemudian meminta adik-adik Papua berfoto bersama, ada tanda cinta (love) di antara pepohonan. Saya terharu melihat tanda alam yang memberkati adik-adik Papua.
Mereka akan kembali ke Serui, Papua sebagai pribadi-pribadi yang akan menghadirkan keadilan dan perdamaian di tanah Papua.  Terima kasih Kristin Mocodompis, Nur Fitri Kamarey, Fitria Tanawani, Novantri Korwa, Silvera Taribaba, Diana Mambai, Rita Y. Mambai, Ira Rahmawati, Alfonsina Mundoni, Amsal M. Wira.P, Wilfred Payang, Jitro Fonatab, Valentin Rerei, Daud dan Ben. Seorang sahabat kecil menulis kesannya. “Saya sangat senang sekali bisa belajar banyak tentang apa yang saya tidak tahu selama ini? Ini juga menjadi suatu kebanggaan bagi saya, karena kami siswa SMK YPK Serui yang pertama kali dibolehkan untuk tinggal di Parangtritis (Pondok Jati Rasa) serta ibu Farsi mengajarkan kami tentang banyak hal, yaitu, harus sabar dalam menjalani kepahitan hidup, harus menyayangi alam dan masih banyak lagi yang tidak sempat saya tulis”.  Seorang lain menulis. “Saya sangat senang dan bangga bisa diajarkan dan diberikan kesempatan dari ibu Nona untuk mengenal warna yang berkaitan dengan hidup seseorang. Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan pengalaman baru. Semoga apa yang saya dapat menopang hidup saya nanti”.

Thursday, September 25, 2014

Gerakan Jati Rasa, Agenda Siapa?


Gerakan Jati Rasa, Agenda Siapa?

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Kata damai dan perdamaian adalah kebutuhan asasi manusia untuk hidup selaras, serasi dan tenang. Tetapi ketika terjadi konflik, proses mendamaikan selalu mengalami jalan buntu karena semua pihak mencurigai siapa yang berkepentingan dalam agenda perdamaian.  Perdamaian sebagai hasil ternyata menyaratkan proses yang juga mengandung aspek kedamaian.  Pengalaman saya dalam memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat berkonflik seperti terjadi di Maluku memerlukan waktu yang lama.  Dialog budaya Maluku yang melibatkan pemuda-pemudi muslim dan Kristen di Yogyakarta bisa terjadi sesudah berbulan-bulan mereka sendiri saling menjajaki untuk saling bertemu sebelum akhirnya sepakat tentang pelaksanaan kegiatan dialog tsb. Kira-kira empat bulan diperlukan untuk pemuda-pemudi dari propinsi Maluku bertemu setiap minggu di  Pondok Tali Rasa, di antara bulan April sampai dengan Agustus 2004 sebelum akhirnya kegiatan bersejarah itu bisa dilakukan pada bulan Agustus 2014.

Sebenarnya pagi ini saya lebih memilih untuk menulis bukan tentang gerakan pendamaian di Maluku melainkan tentang gerakan jati rasa karena pelaksanaannya tidak terkait dengan agenda siapapun.  Di Yogya, sebelum suatu cerita pewayangan dialihkan dalam babakan cerita, sang dalang akan mengangkat “gunungan” menggerakkan dengan tangannya sambil mengatakan “sejatine rasa manungsa naming manembah Gusti Allah, kanthi tumindak ingkang adiluhung”.  Terjemahan kata-kata bahasa Jawa ini ke dalam bahasa Indonesia adalah, “sesungguhnya dalam hati sanubari manusia hanya bersujud pada Allah dengan bertingkah laku yang mulia”.  Jati rasa sebagai kata ternyata juga berakar pada kalimat sakral dari sang dalang, “sejatine rasa” yang menunjukkan kepada hati sanubari.

Semua manusia mempunyai hati sanubari, bagian yang paling penting sebagai inti kehidupan. Dalam anatomi tubuh manusia, di manakah letaknya hati sanubari, saya bertanya-tanya sesudah merenungkan kalimat sang dalang yang ditulis kembali oleh sahabat saya, Siti Murkanti. Saat ini, Siti Murkanti bersama saya sedang mempersiapkan pewayangan dengan penokohannya yang ditampilkan di atas batik. Pewayangan merupakan domain kaum lelaki yang secara khusus dan turun temurun berasal dari keluarga para dalang. Memperhatikan kehidupan manusia Indonesia, yang terus mengubah dirinya, kami sebagai perempuan turut terpanggil untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan damai.  Pewayangan melalui batik adalah upaya untuk menyederhanakan tata cara pewayangan sehingga seorang perempuan bisa menaburkan cerita-cerita “sejatine rasa” kepada anak-anak maupun orang dewasa untuk tetap “eling”, ingat berperilaku kehidupan yang bersahaja di dalam dunia yang meresahkan dirinya.

Gerakan jati rasa, “sejatine rasa” adalah gerakan membawa kembali kehidupan manusia ke dalam hati sanubarinya. Ketika ditanyakan di mana letak hati sanubari manusia, maka kita bisa mencermatikan dalam cetak biru penciptaan Allah kepada manusia. Apakah yang mendebarkan manusia   ketika ada perasaan suka, senang? Apa yang mendebarkan manusia ketika ada perasaan marah? Apa yang menebarkan manusia ketika ada perasaan kesal?  Dalam diri manusia ada tempat yang menebar-nebarkan, tetapi juga ada tempat yang membuat manusia merasa ada bagian yang pening, berdenyut-denyut. Sering kita mendengar seseorang mengatakan, kepalanya berdenting ketika hatinya berdebar-debar. Manusia sangat kompleks. Ia sejak kecil diajarkan supaya tenang, tersenyum dengan anggapan manusia bisa bernapas secara otomatis. Pewayangan “batik” menolong kita mendengar cerita-cerita penokohan wayang yang mencerminkan karakter "sejatine rasa" tetapi sekaligus secara bersama-sama menata kembali cara merawat, menjaga tubuh dalam keseimbangan.

Tulisan dianggap sebagai hasil dari proses berlogika. Anggapan ini benar! Tetapi anggapan ini belum cukup untuk membuat suatu tulisan bisa membangun imajinasi sekaligus menggerakan orang lain yang membacanya. Karena itu, tulisan merupakan proses permenungan yang perumusannya terjadi berbarengan dengan cara menata napas manusia. Keseimbangan dalam emosi, pencarian makna hidup mengejawantahkan dalam proses berpikir sehingga menghasilan tulisan yang menggerakan pembacaan menjadi suatu monumen tindakan yang diterima dalam kesadaran untuk perubahan diri.

“Sejatine rasa”, sebagai suatu gerakan adalah proses pencernaan kata-kata sebagai hasil berpikir yang diimplementasikan ke dalam diri sehingga memungkinkan kata-kata mengubah mengejewantahkan menjadi tindakan yang menenangkan, mendamaikan untuk kemudian digerakan secara berantai oleh  sesama lainnya.  Sebagai suatu gerakan gelombang dari efek echo, gerakan “sejatine rasa”  meninggalkan kerinduan kepada manusia kepada hubungannya dengan Sang Pencipta.  Pada tingkatan ini, perasaan lainnya, yang terkait dengan kekesalan, keputusasaan, kedukaan, mengalami pengangkatan karena gerakan “sejatine rasa” menghadirkan kekuatan Sang Pencipta dalam tindakan harapan untuk mengubah situasi yang kacau menjadi layak dihidupkan kembali.

“Sejatine rasa” memang bukan domain Karl Marx karena gerakan ini adalah warisan bumi persada yang sampai sekarang tidak memisahkan dirinya ketika alam kesadaran terbagi-bagi di antara yang suci dan yang profan.  Gerakan “sejatine rasa” adalah cara untuk mengintegrasikan diri manusia sesudah dipenggal-penggal oleh berbagai ajaran dan ideologi yang ternyata menghilangkan orientasi hidup manusia kepada pemaknaan nilai kehidupan dalam bertingkah laku yang mulia di dunia ini.

Anda adalah bagian dari gerakan “sejatine rasa” ketika pembacaan ini selesai, karena ternyata kehidupan itu sendiri tidak pernah berhenti sesudah pembacaan ini berakhir.

Wednesday, September 24, 2014

Mediasi Menjaminkan Penerusan Kreatifitas


Mediasi Menjaminkan Penerusan Kreatifitas

 

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Karl Marx tetap hidup dalam semangat saya. Sebagai seorang pemikir, Karl Marx mewariskan pemikiran kritisnya kepada peradaban modern. Studi-studi kritis yang dilakukan untuk mengerti tentang kelayakan posisi dan peran masyarakat marginal sebagaimana didekati dengan perspektif feminis berterima kasih kepada kerangka analitis yang diwariskan Marx kepada peradaban dunia. Tetapi Marx juga mewariskan ideologi revolusioner untuk menggulingkan sistem sosial yang menekan kelompok-kelompok yang dianggapnya tertindas. Permenungannya terkait dengan revolusi industry tidak menolongnya untuk melihat solusi lain kecuali memberikan dukungan kepada kaum proletariat untuk “melawan” kaum borjuis yang menindas mereka.

Kaum borjuis bukan saja pemilik modal, para ningrat tetapi juga lapisan agamawan yang dianggap menggunakan ideologi iman keagamaan untuk menjinakkan penganutnya. Agama dianggap Marx sebagai sumber penindasan manusia karena sifatnya seperti candu. Warisan pemikiran tentang masyarakat sebagai representasi dari berbagai interaksi komunitas yang selalu berkonflik ternyata turut mengkonstruksikan dan melestarikan ketegangan yang sering kali berakhir pada tindakan-tindakan kekerasan.  

Sejarah dunia menjadi saksi tentang berbagai bentuk perang yang diakibatkan dari produksi ideologi konflik ini. Pada tingkat kecil, penggunaan perspektif analitik yang memandang konflik sebagai realitas yang tidak terselesaikan juga menyebabkan kehancuran dalam keluarga. Para feminis radikal yang memandang lelaki sebagai sumber penindasan kepada perempuan ternyata terperangkap dalam analisis konflik Marxian ini.  Hehehe, saya harap bukan salah satu dari feminis dengan agenda konflik, sekalipun melakukan banyak riset di daerah konflik di Indonesia. Kerja-kerja saya langsung di akar rumput menghantarkan saya kepada bentuk feminisme perdamaian yang memberikan alasan untuk lahirnya gerakan membangun “Jati Rasa” di Indonesia.

Harus diakui, anti thesis dari radikalisme pemikiran Marx telah memunculkan studi-studi yang mencoba menemukan kealamiahan dari sifat kehidupan yang sejatinya tidak saling bernegasi.  Istilah keren untuk menjelaskan tentang sifat-sifat alamiah yang menyelubung di antara lapisan-lapisan kekuasaan yang perlu dimunculkan adalah  kata hegemoni. Sebagai representasi dari konstruksi kekuasaan,  aliran Neo Marxian mencoba menyederhanakan keradikalan pemikiran Karl Marx dengan menunjukkan adanya tindakan partisipasi dalam kekuasaan. Orang terlibat memberikan pilihan, terkait dengan selera berdasarkan sistem nilai dan keyakinan yang terbentuk di dalamnya. Penyamaran kekuasaan sehingga tampil menguatkan pilihan seseorang atau kelompok menunjukkan ketundukannya pada payung kekuasaan yang melingkupinya sekaligus memandirikannya. Hakekat alienasi yang dipersoalkan dalam pemikiran Marx sebagai akibat dari keterputusan proses produksi dengan hasilannya dikoreksi dalam pandangan hegemoni.  Kekuasaan ternyata bersifat tersirat sekaligus mengandung aspek kritik diri yang partisipatif sehingga mengandung penjelasan tentang pilihan-pilihan yang dibuat dalam suatu keputusan seseorang atau secara kolektif.

Pandangan progresif tentang bentukan kekuasaan yang tidak menakutkan sekalipun masih memungkinkan terpasung sebagai tirani memberikan harapan untuk kelanjutan kreatifitas bertumbuh menghasilkan sumber capital kepada umat manusia.  Ruang yang diberikan untuk pertumbuhan kreatifitas dimungkinkan karena adanya tindakan mediasi untuk mempertemukan berbagai orang yang berbeda untuk mencapai kesepakatan.  Istilah mentereng “mediasi” adalah representasi dari praktek negosiasi yang ada dalam sistem budaya masyarakat di berbagai tempat termasuk di Indonesia. Riset saya di Maluku Utara menunjukkan kapasitas masyarakat dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka untuk bisa mengisolasikannya dari kepentingan kelompok lain yang cenderung menginginkan penerusan konflik.  Sebagai suatu tindakan untuk membangun kesepatakan, mediasi bertumbuh secara bertahap. Kadang-kadang prosesnya berjalan terpatah-patah, tarik ulur untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dari berbagai kelompok yang saling bersitegang.
Kemarin dalam pembimbing mahasiswa S2, saya semakin yakin tentang kapasitas masyarakat Indonesia untuk membangun mekanisme mediasi  untuk menyelesaikan konflik sehingga tidak menghambat keberlangsung kreatifitas produksi.  Kelumpuhan solusi bisa terjadi karena manusia mengandalkan dirinya pada barang fisik yang diperebutkan bukan pada kemampuannya dalam mengembangkan ide menjadi suatu barang produksi yang memberikan nilai tambah kepada dirinya.  Membantu masyarakat melihat jalan mediasi yang bisa dilaluinya sekaligus mengantarkan mereka untuk menemukan ekspresi kreatifitas yang membawanya kepada peradaban baru merupakan kebahagiaan saya dalam gerakan “jati rasa” ini.  Semoga besok saya bisa meneruskan cuap-cuapnya lebih lanjut.

Tuesday, September 23, 2014

Membangun masyarakat "rasa"


Membangun masyarakat “rasa”

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Saya ingin meneruskan tulisan digital (tuldig)  yang diposting kemarin. Tuldig sebelumnya diakhiri dengan temuan bahwa kreatifitas adalah upaya untuk mengatasi persoalan yang muncul pada situasi konkrit. Kreatifitas adalah celaan di mana seseorang atau kelompok melihat datangnya sinar yang masuk di ruang gelap. Sinar seperti petunjuk jalan untuk mengerti jejak diri sehingga berada dalam ruang gelap tersbt. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kreatifitas bisa muncul adalah keinginan untuk bertahan, mengatasi persoalan.  Keinginan untuk bertahan seperti sinar yang memancarkan dirinya keluar membagikan kekuatan untuk tumbuh  kepada makhluk di sekitarnya. Kreatifitas adalah tanda kemampuan manusia untuk meneruskan menumbuh dalam cara yang berbeda, sampai memunculkan sifat-sifat unggul yang teruji.

Lapisan kreatifitas di dunia yang disebarkan oleh pengaruh peradaban Cina dan Arab ditemukan bisa berkembang bersama dalam peradaban Eropa.  Tongkak kreatifitasnya berakar pada sistem berpikir, kemampuan bernalar untuk mengerti jagad semesta dalam hubungan dengan manusia sebagaimana merupakan karakter analisis dari pemikir-pemikir kesemestaan dalam masyarakat Yunani.  Batas manusia untuk menggali fenomena sosial yang terselimuti dalam peradaban tidak bisa terbendung karena interaksi berpikir dibangun sekalipun menggugat kebenaran yang sedang menyelimuti struktur kemasyarakatan yang ada.  Tanpa tekanan kreatifitas mengalir mewujudkan dirinya dalam penataan organisasi sosial yang merepresentasikan keadilan.  Kreatifitas mendorong pengubahan sistem produk dari presentasi karya tulisan, seni rupa dan produk fungsional untuk mendorong tukar menukar dalam perdagangan di antara komunitas-komunitas.   Dunia di mana tanahnya menjadi pijakan untuk melegitimasikan keberadaan suatu komunitas malahan yang cenderung mengunci rapat peluang untuk menghadirkan kreatifitas pada masyarakat.  Peluang kemunculan kreatifitas rendah ketika kekacauan dibiarkan tanpa ada mekanisme pengelolaan  yang teratur.  

Studi tentang kreatifitas bersentuhan dengan keinginan manusia untuk mengerti bagaimana suatu kelompok memproses informasi dan mengembangkannya.  Di Indonesia, ragam budaya yang tersedia menunjukkan tentang kapasitas pengolahan informasi yang berbeda-beda terwujud secara interaktif.  Pengembangannya bisa dipacu apabila sistem keterbukaan berpikir menghadirkan ide-ide baru yang mengalir keluar mencari jalan dari mata air sungai besar yang telah melahirkannya. Kapasitas informasi ini bisa disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi untuk menghasilkan pengetahuan baru yang belum menampakkan dirinya.  Misalkan komunitas kreatif yang mengembangkan ide tentang batik menguatkan bukan saja kain batiknya tetapi cara membatik. Sampai saat ini, saya masih melihat belum ada upaya untuk melakukan transformasi ide ketika batik yang biasanya melibatkan lelaki dalam proses pembersihan lilinnya (istilahnya “pelorotan”) dilakukan oleh perempuan.  Cara pelorotan dengan menggunakan otot masih dilakukan oleh pengrajin perempuan sementara solusi teknologi bisa memungkinkan penghalusan cara kerja yang memberikan dampak “keadilan” bagi kesehatan mereka belum menampakkan hasilnya.

Membangun masyarakat “rasa” merupakan tujuan yang saya dambakan  untuk  menstimulasikan kreatifitas dari warga.  Kreatifitas yang berkembang di era industri informasi saat ini telah meninggalkan komunitas produksi yang menolak melakukan inovasi. 

Ada dua hal yang saya amati menjadi penyebab stagnasi tersebut. Pertama, kreatifitas ketika digandengan dengan paham kompetisi murni cenderung memunculkan sifat individualisme untuk mendorong kemandirian produksi seseorang. Pada sisi lain, di Indonesia penekanan terhadap solidaritas sosial mendorong warga berkelompok dalam berproduksi yang kemudian mematikan kreatifitas dan kemandirian individu untuk berkarya.  Kemampuan untuk menempatkan keunikan individu dalam sistem produksi bersama perlu dipikirkan mendalam karena fenomena ini juga muncul pada era revolusi industry di Eropa tetapi tidak pernah terselesaikan. Karl Marx dalam risetnya bahkan menunjukkan sisi alienasi dari para pekerja industri karena aksesitas pengertian tidak dibukakan kepada mereka.  Perancangan dikuasai oleh kelompok pekerja terdidik sementara pekerja produksi yang dengan tekun menghasilkan barangnya semata-mata berperan sebagai buruh.

Masyarakat “rasa” adalah komunitas yang saling berinteraksi untuk menggunakan jasa pelayanan produksi yang dikembangkan secara bersama-sama yang memungkinkan proses penukaran terjadi dalam dinamika bisnis yang adil.  Perlindungan kepada proses penciptaan dalam cara produksi ketika penurunan ide dimunculkan pada bahan perlu diberikan tempat yang layak. Tahun 2011 saya menyelenggarakan pameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Salah satu karya yang dipamerkan dihasilkan oleh tiga perupa, yang masing-masing berperan dalam menurunkan ide, menjelaskannya pada gambar dan mengerjakannya. Tiga proses produksi ini dihargai setara sebagai mekanisme penciptaan yang memungkinkan prinsip keadilan diwujudkan.  Jadi tampilan produk yang ikut dipamerkan dengan judul “Bumi Menari” ditulis mengikutkan tiga nama perempuan yaitu, Fabiola yang menurunkan ide saya dalam gambar, dan Martini yang mengerjakan ide pada gambar untuk menghasilkan wujud fisiknya.  Dalam skala kecil, ketiga perempuan ini berkomitmen untuk membangun “masyarakat rasa”.  Penghargaan kepada Martini dilakukan bukan sekedar melalui pembayaran dari seorang konseptor kepada pengrajin tetapi juga dalam bentuk pengakuan terhadap tangan lembutnya membentuk bambu merepresentasikan konsep “bumi menari”.

Keadilan dalam pertukaran global bisa dibentuk apabila ada dorongan untuk menghasilkan komitmen dalam masyarakat. Pertimbangan keadilan secara nilai jual sering kali berbenturan dengan praktek pembelian di mana nilai uang bisa membeli hak cipta seseorang tanpa harus dijelaskan asal usulnya.  Bagian ini akan saya bahas kemudian karena terkait dengan situasi di bawah sadar manusia dan prasangka yang menghambat seseorang untuk terbuka mengakui keunikan pemikiran dan produksi yang dihasilkan oleh orang lain. Jadi hambatan untuk membentuk masyarakat “rasa” dimana kesatuan rangkaian produksi saling menguntungkan masih bisa terjadi dalam masyarakat baik karena aspek ketidaktahuan maupun karena kesadaran yang ada.

 

Monday, September 22, 2014

Keterhubungan "Jati Diri", "Rasa" dan Kreatifitas


Keterhubungan “Jati Diri”, “Rasa” dan Kreatifitas

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Tanggal 21 September 2014, saya meluncurkan Griya Jati Rasa ke dunia maya.  Sejak itu saya kembali menulis lagi.  Sudah sangat lama, saya berhenti menulis kecuali membuat posting-posting yang  berisikan thesis statement untuk jejaring Facebook saya.  Saya juga mempublikasikan karya-karya seni sendiri melalui Instagram.  Tanggal 21 September 2014 adalah hari Perdamaian Internasional. Saya ingin memberikan makna penting bagi kelahiran Griya Jati Rasa dengan mengikatnya pada hari perdamaian internasional tsb. Peresmiannya pada dunia nyata masih menunggu momentum yang tepat.  Keputusan memisahkan pelaksanaan kegiatan secara dunia maya dengan “real time” muncul ketika saya bersilahturahmi ke Dinas Sosial DIY. Saya meminta nasihat dari pejabat Dinas tentang bentuk lembaga social yang sedang saya persiapkan untuk bisa melayani masyarakat di Indonesia. Saran mereka adalah lembaga social berbeda dari lembaga bisnis sehingga perijinannya dilakukan sesudah mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan dalam masyarakat.

Saya sudah lama melakukan berbagai kegiatan tetapi tanpa upaya untuk mendaftarkannya kepada pemerintah. Jadi mengapa kemudian saya sekarang ingin mendaftarkannya? Alasannya sangat sederhana. Kegiatan kerja dari Griya Jati Rasa yang terkait dengan pengkajian dan pengembangan kreatifitas untuk keadilan dan perdamaian perlu mendapat pemantauan dari pemerintah. Pemerintah perlu tahu apa yang dilakukan oleh Griya Jati Rasa bersama masyarakat, baik yang ada pada dunia maya maupun pada dunia nyata. Jadi angan-angan saya, ketika peresmian Griya Jati Rasa pada “real time”, sahabat-sahabat saya dalam dunia maya juga bisa hadir. Hubungan bolak-balik dunia maya dan real time adalah realitas dari eksistensi Griya Jati Rasa juga.  Griaya Jati Rasa  berinteraksi dengan masyarakat dunia maya yaitu mereka yang mengakses internet tetapi sekaligus menjaga kehidupan real time di mana banyak warga biasa masih belum terhubungkan dengan dunia maya.

 Sesudah dunia maya menggencar, pandangan bahwa komunikasi yang kuat tampil pada kata makin melemah.  Efektifitas gambar diterima sebagai media komunikasi yang sama kuat dengan pengungkapan kata-kata. Kalau kemudian kata-kata diperlukan, sekedar menjelaskan tentang maksud gambarnya. Kadang-kadang bahkan gambar dibiarkan menyentuh pembaca. Sebagai produk dari kreatifitas, gambar dalam rupa foto yang menampilkan representasi utuh tentang eksistensi objek makin diterima sebagai bagian dari proses berpikir. Orang-orang sederhanapun ketika melihat gambar, mereka dengan mudah bisa berinteraksi. Sebagai metode pemberdayaan, Griya Jati Rasa akan selalu membagikan pemikiran bersama melalui blog untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran dari proses refleksi perjumpaan dengan fenomena-fenomena social yang dihadapi bersama dalam masyarakat. Interaksi bersama baik di antara nitizen dan orang-orang yang sama berinteraksi di real time selalu memberikan inspirasi kepada saya untuk menulis.  Saya akan tetap menulis sampai saya jadi nenek-nenek! Tetapi saya juga akan terus berkreasi dalam karya-karya seni sampai saya nenek-nenek!

Penghayatan saya mengolah kapasitas “Yin” (dalam cara menganalisis) dan “Yan” (dalam cara mengekspresikan kreatifitas) pelan-pelan akan saya bagikan kepada nitizen maupun masyarakat real time.  Perjalanan berpikir ternyata menarik untuk ditelusuri balik terutama untuk mengerti upaya menjelaskan pemikiran secara runtun dengan berdampak terhadap emosi diri maupun masyarakat yang secara bersama mempunyai tujuan sosial untuk menciptakan keadilan dan perdamaian.  Di sini, sekat-sekat ideology, agama, etnisitas dan genter mengalami peleburan karena semua orang yang berpikir adalah juga ber’rasa’ sehingga mampu membangun kreatifitas untuk menggenapi proses aktualisasi dirinya sebagai seorang manusia.

Pada tanggal 21 September 2014, saya berkeliling Yogya untuk mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh masyarakat di sini. Pertanyaan tentang apa bentuk kreatifitas yang mendorong masyarakat berpikir dan berupaya sehingga memuaskan “rasa” keadilan dan perdamaian dalam diri pribadi maupun bersama seolah-olah menemukan jawabannya.  Kejadian tersebut tiba ketika saya berhenti di XT Square yaitu kompleks bangunan pameran yang didirikan oleh Pemerintah Kota Yogya di bekas terminal bus Umbulharjo. Ada spanduk bertulisan “Selamat Datang Peserta Lomba Teknologi Tepat Guna dan Masakan Olahan Serta Gelar Potensi Pemberdayaan Masyarakat” tergantung di sisi timur dari bangun XT Square.  Spanduk tersebut sebagai petunjuk untuk membawa kami memasuki ruangan di mana para peserta sedang memamerkan karya-karya mereka. Penyelenggaranya adalah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM Kota Yogya). Kami menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam untuk berdiskusi dengan peserta yang terdiri dari siswa/i  Sekolah Menengah Umum dan para ibu-ibu dari berbagai Kelurahan di Kota Yogya.

Basis kreatifitas siswa/I SMU adalah mata pelajaran ilmu alam. Misalkan ada alat tepat guna yang bertujuan untuk membuat tikus gusar sehingga mandul.  Alat tersebut merekam suara cangkrik kemudian diputarkan di persawahan untuk menggusarkan tikus.  Kepedulian sosial menjadi alasan yang kuat untuk para siswa/I mengembangkan kreatifitas mereka dengan menciptakan alat tepat guna tsb. Motivasi yang sama juga terlihat dari ibu-ibu yang mengikuti olah masakan dan potensi. Misalkan mereka mengolah limbah plastic dari bank sampah menjadi kerajinan tas, bunga dan aneka produk lainnya yang bernilai jual tinggi. Kedua contoh di atas menunjukkan tentang asumsi kreatifitas tidak lagi terfokus pada definisi barang kerajinan. Kreatifitas lebih dimengerti sebagai upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, yang penciptaannya berwujud barang sehingga bisa membantu mengatasi permasalahan tsb.

Kreatifitas dalam konteks penciptaan barang fungsional mendorong terbentuknya jati diri seseorang maupun kelompok secara bersama untuk mengembangkan “rasa” tanggungjawabnya dalam hidup bersama. Ternyata kreatifitas tidak dimulai pertama-tama karena alasan ekonomis, tetapi kesadaran untuk hidup harmonis dengan lingkungan. Kreatifitas yang dipelihara dengan berimbang dan mewujudkan dirinya secara benar dalam representasi bentuk yang menyentuh pergumulan bersama akan mendatangkan damai kepada diri sendiri maupun sesama.  Kreatifitas adalah esensi manusia untuk melepaskan diri dari keputusasaan sehingga tampil menguatkan jati diri yang dengan berani menghadapi tantangan hidup yang menyeimbangkan emosi dan spiritualitas guna meneguhkan keutuhan dirinya di hadapan sang Pencipta.  Kreatifitas adalah solusi yang menggabungkan aspek intelegensi, emosi dan spiritualitas untuk mampu hidup dengan indah dan baik di dalam dunia ini.

Sunday, September 21, 2014

Menenun sejarah nama, Griya Jati Rasa


Menenun sejarah nama, Griya Jati Rasa.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Jati Rasa adalah nama dari pondok kami di Alas Wegode, Parangtritis. Di sini berdiri rumah pusaka dari nenek moyang saya yang dipindahkan dari desa  Taji, Prambanan ke tebing menghadap pantai selatan.  Bersama dengan rumah kami di daerah Sleman, Pondok Jati Rasa menggunakan kata “rasa” sebagai kata yang sangat penting dalam jati diri manusia Indonesia. Rumah di Sleman, kami menamakannya Pondok Tali Rasa. Eksistensi Pondok Tali Rasa lahir sesudah gerakan Reformasi, tepatnya tanggal 11 Februari 1998.  Sedangkan rumah pusaka kakek buyut saya dipindahkan pada tanggal 26 Juli 2004. Usia pondok Jati Rasa sudah uzur, karena dibangun tahun 1822. Tahun pembuatannya diukir pada salah satu tiang raja yang berada pada rumah limasan tsb.  Lokasi rumah di Alas Wegode di kelilingi oleh kebun jati.  Alasan inilah yang menyebabkan rumah kakek buyut dipanggil Pondok Jati Rasa. Sekalipun pemindahannya baru terjadi tahun 2004, tetapi eksistensinya sangat tua.

Tetapi Pondok Tali Rasa dibangun dengan konsep yang menyadari mendalam eksistensi dirinya yang juga bagian dari sejarah yang tua, suatu sejarah turun temurun yang mengalir dalam diri manusia. Dalam Pondok Tali Rasa kami menghadirkan peradaban Merapi dan Prambanan dalam wujud bebatuan untuk membentuk lengkungan pembatas (ark) sebagai perspektif.  Secara geologi, lahar dan bebatuan dari erupsi Merapi mengalir di sepanjang sungai  Opak di samping dari candi Prambanan.  Batu Merapi adalah batu vulkanik yang berwarna hitam sedang batu dari sungai Opak berwarna putih keemasan.  Dengan adanya kedua jenis peradaban batu yang membentuk “ark” pada Pondok Tali Rasa maka eksistensi dirinya bisa disejajarkan dengan Pondok Jati Rasa yang adalah produk historis.

Anehnya ketika kami membangun Pondok Tali Rasa, rumah pusaka dari kakek buyut saya belum kami miliki. Sekalipun demikian, kedua rumah ini kemudian diikat dengan kata “Rasa” sebagai kata yang sangat penting mengejawantahkan eksistensi manusia dengan keindraannya yang lengkap. Rasa sebagai kata berakar dalam bahasa Sansekerta merepresentasikan keutuhan ciptaan manusia. Rasa adalah cakra kesadaran sejati manusia dalam mengkonsepkan, mengvisualisasikan dalam penglihatan, menyentuh, mengalami, dan mencicipi. Kesejatian manusia sebagai keutuhan ciptaan dari Sang Pencipta mungkin bisa dipilah-pilah dengan menggunakan pengetahuan modern, tetapi dalam perjalanannya  akan kembali kepada cakra “rasa” yang menyatukan. Seperti “Tali” yang menyatukan kesejatian kedirian manusia, Pondok Tali Rasa sejak dibangun menjelaskan dirinya dalam aktivitas dari hari ke hari untuk berbagi dengan sesame makhluk di sekitar lingkungannya.

Sejarah inilah yang menyebabkan saya meneruskan penggunaan “Jati Rasa” dibawa masuk ke Sleman untuk memberikan nama bagi “Griya Jati Rasa”.  Rumah pusaka di Alas Wegode akan tetap disebut Pondok Jati Rasa. Tetapi Griya Jati Rasa, adalah rumah yang tidak lagi menjadi warisan keluarga, melainkan menyewantahkan dirinya sebagai rumah publik.  Griya Jati Rasa sebagai wadah untuk membangun bersama karakter manusia  yang mengintegrasikan “rasa”  membentuk jati diri bangsa.

Kata “Jati” sudah lama saya refleksikan terutama dengan memperhatikan perilakunya di alam. Di Alas Wegode, di hutan “gede” di Parangtritis, saya mengamati mekanisme perkembangan pohon jati.  Sifat ungul pohon Jati terlihat pada daunnya. Ketika musim kering, untuk mengakomodasikan ketahanannya daun-daunnya digugurkan.  Saya sangat suka berjalan di atas dedaunan jati karena gesekannya memberikan ketenangan irama musik alam. Kemudian saya sadar, suami saya, pak Bernie ternyata suka sekali berjalan di atas dedaunan pepohonan di musim gugur di Negara dengan empat musim.  Kekokohan kayu jati, yang di Jawa dikenal sebagai kayu kelas satu ternyata ditentukan oleh penguatan kambium yang sangat disukai oleh rayap. Memang sangat aneh! Ternyata rayap sangat menyukai “kambium” sehingga pada musim transisi dari musim hujan ke musim kering atau musim kering ke musim penghujan, rayap akan mengerumuninya.  Fenomena simbiosis mutualisme sangat kuat terlihat pada tahap ini.

Rasa sebagai representasi kualitas sejati diri ternyata harus dipicu pembentukannya dari kolaborasi berbagai makhluk hidup, termasuk juga rayap yang sangat dimusuhi oleh manusia karena sifatnya yang dianggap pemusnah kayu.  Pengendali rayap sebagai pemicu mekanisme penguatan batang jati terbentuk secara alamiah. Dengan pembelajaran, pengendali rayap tetap perlu dilakukan sehingga tidak berpindah memakan kayu-kayu dari suatu bangunan.  Saya memaknainya dengan mengerti konteks penguatan batang-batang Jati untuk mengerti asal usul penamaan dirinya sebagai Jati. Kata “Jati” adalah juga bahasa Sansekerta. Jati sebagai inti dari hasil pemakanan rayap untuk mendorong pembesaran batang-batang pohon.  Semakin besar pohon jati terbentuk, semakin terlihat kemampuannya untuk diproses menjadi inti yang kokoh. Kata Jati kemudian digunakan untuk menunjukkan kedirian manusia seperti Jati Diri, yang terkait dengan karakter, inti pribadi seseorang atau bangsa.

Griya Jati Rasa adalah Rumah yang memungkinkan penguatan “rasa” berproses bersama-sama dengan “sejati” manusia untuk membangun Indonesia yang bermartabat dan berbudi luhur di hadapan Sang Pencipta dan umat manusia.

Saturday, September 20, 2014

Profil Griya Jati Rasa


Indonesia bertumbuh merambah mendunia. Keterhubungan dan koneksitas membuat dunia serupa desa global. Kualitas jati diri bangsa teruji dalam pertemuannya dengan bangsa-bangsa lain. Kekuatan masyarakat sipil dalam mengawal proses demokratisasi mendorong warga berpartisipasi dalam mengadvokasi kepentingannya sendiri melalui perbaikan kebijakan publik yang berpihak kepadanya.  Dalam era globalisasi, aksesitas partisipasi politik perlu didukung dengan penguatan kapasitas warga untuk melakukan transformasi sistem kerja dan alat. Keunikan pengetahuan dan hasil kerja dari sistem budaya makin mengalami tantangan ketika berhadapan dengan produk inovatif dunia yang tak terbendung bahkan bisa menjadi ancaman kepada masyarakat lokal. Konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat bisa dipicu oleh ancaman-ancaman yang muncul dari globalisasi perlu dimediasi untuk menjaminkan kelangsungan kreatifitas. Penguatan kreatifitas berpikir yang mendorong transformasi perancangan sistem kerja dan alat dilakukan secara terencana kepada warga diharapkan bisa mendorong terciptanya masyarakat yang adil dan damai. 

Griya Jati Rasa adalah Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Kreatifitas Bangsa untuk Keadilan dan Perdamaian dibentuk untuk menjawab kebutuhan Indonesia di era globalisasi. Nilai-nilai budaya dan kekayaan alam sebagai aset bangsa perlu dipelihara sekaligus dimaknai sejalan dengan perubahan sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat sendiri. Kebijakan loka lmenjadi pintu masuk dalam mendalami kekuatan dan keunikan jati diri bangsa. Berbagai pengetahuan yang sudah dimiliki masyarakat, di bidang pangan, sandang, kesehatan,   pengolahan tata ruang, aneka kerajinan dan lain-lain perlu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.  Ketika rakyat mengalami stagnasi sehingga kehilangan daya juang untuk mencipta karya maka mereka perlu diberdayakan untuk mengerti  proses produksi dan implikasinya secara digital. Kewirausahaan rakyat perlu dibangun berbarengan dengan penguatan kreatifitas pengolahan potensilokal yang mendorong terciptanya keadilan dan perdamaian dalam keluarga dan masyarakat secara luas.

Griya Jati Rasa dibentuk oleh Farsijana Adeney-RisakottaPh.D, seorang intelektual,  penulis, blogger yang sekaligus bekerja di akar rumput dalam pemberdayaan dan advokasi kebijakan publik  yang berdampak kepada perempuan dan anak. Kegelisahannya terhadap berbagai persoalan konflik dan kekerasan dalam masyarakat di Indonesia maupun di dunia telah menghantarkan dirinya untuk berjanji tetap bersama dengan rakyat di sela-sela aktifitas pekerjaannya di Universitas. Sebagai seorang perupa, seniman Farsijana telah melakukan dua kali pameran senirupa di Yogyakarta (2011, 2013) maupun ketika berada di Boston, Amerika Serikat (2014). Seni menjadi pilihan dan perspektifnya dalam mendorong kreatifitas warga memperjuangkan kepentingan dasarnya untuk berproduksi dalam konstalasi sistem peradaban baru yang adil dan damai. Kegiatan terpadu dalam berefleksi dan berkarya menjadikan Griya Jati Rasa tampil merepresentasikan lingkaran pembelajaran yang komprehensif, terintegrasi, inovatif dan teruji.

Aspek kegiatan Griya Jati Rasa meliputi.

  1. Pusat Riset  Human Security, Lingkungan, HAKI, Sistem Inovasi Kerja dan Alat
  2. Penerbitan Dalam Blog dan BukuCetak
  3. Galeri Seni dan Eksport
  4. Produk Industri  Kecil
  5. Mediasi dan Advokasi Kebijakan Publik
  6. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
  7. Sanggar Seni Budaya  
  8. Pengorganisasian dan Pelatihan


Publikasi online terkait silahkan lihat:


1. Http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com
2. Http://farsijanaforpizza.blogspot.com
3. Http://farsidarasjana.blogspot.com
4. Http://cliffhouseofpondokjatirasa.blogspot.com
5. Art Wire f Farsijana Adeney-Risakotta on Pinterest
   (www.pinterest.com/Farsijanaar/art-wire-of...)
6. Untuk upgrade pameran seni online lihat Instagram (farsijanaar)
7. Google + <Farsijana Adeney-Risakotta>