Pementasan Wayang Inovatif
Pentas
Bima Ngresiki Jagad di Gowok
GOWOK – Yayasan Griya
Jati Rasa menggelar wayang kulit inovatif (kontemporer) dengan lakon Bima
Ngresiki Jagad pada Sabtu, 2 Mei 2015 yang lalu di Bank Sampah Dusun Gowok
Nolobangsan, Catur Tunggal, Depok Sleman. Pementasan wayang ini dimeriahkan
dengan inovasi sendratari dari kelompok tari Pondok Tali Rasa. Acara dimulai
pukul 19.30 WIB
Pementasan wayang dimulai dengan penyerahan secara
simbolis tumpeng serta wayang kulit Bima oleh Dukuh Gowok, H Pudjo Wiratno.
Tumpeng diserahkan kepada Direktur Griya Jati Rasa yang sekaligus sutradara
dalam pementasan ini yaitu DR Farsijana Adeney Risakotta sedangkan wayang kulit
Bima diterima oleh Dalang Nyi Siti Murkanti (52).
Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati
hari bumi, 22 April sekaligus perayaan hari pendidikan nasional 2 Mei lalu.
Sehingga pesan-pesan yang dibawa dalam acara ini difokuskan mengenai pendidikan
masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dusun Gowok dipilih untuk pementasan
wayang karena gerakan masyarakat yang sudah sadar lingkungan perlu didorong
untuk menjadi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) kerajinan pengolahan sampah
kreatif yang merupakan salah satu misi pemberdayaan dari Yayasan Griya Jati
Rasa. Wayang kulit inovatif ini bermuatan tentang kampanye lingkungan hidup.
Dalam sambutannya sebelum cerita wayang dimulai, Dukuh Gowok, H Pudjo Wiratno,
menyatakan kesannya bahwa ternyata dalam wayang dan agama ada ajaran untuk
menjaga bumi.
Pementasan wayang kulit ini disebut inovatif dan
kontemporer karena tidak sesuai dengan pakem umumnya. Banyak keunikan dan
perbedaan yang diitampilkan. Menurut dalang Nyi Siti Murkanti, “Ini wayang
kontemporer tidak sesuai dengan pakem diilhami dari cerita Dewa Ruci, diinovasi
dengan sendratari, sinden multimedia, niaga hanya seorang,” tuturnya.
Disebut
inovatif dan berbeda karena dalangnya berjenis kelamin wanita bukan pria seperti
pada umumnya. Lagipula dalangnya juga
tidak menggunakan pakaian adat jawa (kebaya dan kain jarik) namun hanya berbaju
batik. Sebelum cerita wayang dimulai ada penjelasan makna gunungan oleh dalang.
Sementara itu niyaga pemain gamelan untuk mengiringi cerita wayang hanya satu
orang, padahal di lokasi terdapat satu grup pemain gamelan yang hanya
mengiringi musik pembuka dan penutup. Dalang tidak duduk bersila namun di kotak
yang disediakan serta posisi duduk dalang tidak membelakangi penoton sebagaimana
umumnya. Ada cerita yang digambarkan dengan animasi LCD. Muncul ide cerita
berdasarkan keadaan sekarang khususnya tentang lingkungan hidup. Selain itu
menurut Dalang Nyi Siti Murkanti segi inovasi lainnya yaitu adanya wayang
kalpataru yang dibuat khusus oleh sutradara, DR Farsijana Adeney Risakotta dari
bahan karton. Wayang karton lain yang dibuat oleh DR Farsijana adalah punakawan
(Semar, Petruk, Gareng dan Bagong).
Ada
9 adegan dalam pementasan wayang inovatif kali ini, termasuk di dalamnya adegan
goro-goro. Cerita ini diilhami dari cerita Dewa Ruci, yang kemudian ditambah
adegan lain terkait kampanye lingkungan hidup menyangkut kebersihan lingkungan,
sesuai dengan Lakonnya Bima Ngresiki Jagad. Adegan pertama Jejer Negara
Amartha, adegan kedua menceritakan Bima yang dihalang-halangi Dewi Kunthi
ketika mau mencari Ilmu Sangkan Paraning Dumadi. Adegan ketiga Bima bertemu dan
menang bertarung dengan kedua raksasa Kalmuka (hawa nafsu) dan Kalmukala (waktu
mengendalikan hawa nafsu). Pada adegan keempat Bima mendapat cincin druenda
dari kedua raksasa tadi yang sudah menjelma menjadi Batara Bayu dan Batara
Endro.
Adegan
kelima cerita mengenai Naga Nembur Nawa yang dikalahkan oleh Bima. Dalam adegan
ini cerita mulai keluar dari pakem karena ditambahi dengan pesan-pesan mengenai
upaya melestarikan lingkungan hidup, seperti Bima yang menolong ikan dan penyu dengan
membersihkan sampah plastik pada mulut penyu, limbah pabrik yang ada di sisik
ikan yang berwarna hitam, serta kerusakan karang laut oleh kapal trawl.
Adegan
keenam Bima masuk samudera tingkat dua tentang pancamaya sebagai pengendali
panca indra dan Bima bertemu dengan Sang Hyang Antaboga sebagai mikrokosmos
yang merupakan bentuk batin (hati nurani) dari Bima. Pada adegan ini Bima
disuruh masuk ke dalam telinga kiri Sang Hyang Antaboga, untuk mewujudkannya
Bima dibimbing bersemedi (meditasi) sehingga dalam keadaan sadar atau tidak
sadar Bima dapat merealisasikan masuk ke telinga kiri Sang Hyang Antaboga.
Adegan
ketujuh menceritakan tentang Bima yang berusaha masuk ke dalam alam Pramana
(sukma) dimana merupakan dunianya orang mati. Di sana Bima tidak punya
keinginan apa-apa, adanya hanya menerima keadaan dan berpasrah diri. Sang Hyang
Antaboga yang merupakan guru Bima, menasehatinya bahwa belum saatnya Bima masuk
ke alam pramana (sukma) karena masih harus mendarmabaktikan dirinya, salah
satunya di bidang pelestarian lingkungan hidup. Selain itu juga pada tiga
tahapan ilmu mistik islam atau tasawuf, dengan bentuk baru Bima gelung endek
ngarep dawa mburi (pendek depan panjang belakang) lalu kembali ke Amartha.
Sedangkan
adegan kedelapan yang juga merupakan cerita tambahan, menceritakan Bima yang
naik ke darat dengan membawa pohon Kalpataru dan menanamnya di daratan. Wayang
dan cerita yang menggambarkan pohon Kalpataru ini diciptakan oleh DR Farsijana
Adeney Risakotta.
“Tujuan
penciptaan dan penceritaan wayang kalpataru untuk adegan Bima Nandur Kalpataru
adalah untuk menjelaskan bahwa dalam tradisi filosofi jawa ada ajaran tentang
pemeliharaan lingkungan hidup, tetapi sebelumnya tidak pernah dijelaskan. Jadi wayang kalpataru adalah cara untuk
membuka tabir bagaimana manusia harus hidup harmonis dengan alam,” jelas DR
Farsijana yang merupakan Direktur Yayasan Griya Jati Rasa ini.
Kemudian
pada adegan kesembilan yang merupakan Goro-Goro, cerita tentang punakawan Semar,
Gareng, Petruk dan Bagong. Pada Goro-Goro ini, keempat punakawan tersebut
mengisahkan tentang kondisi lingkungan hidup dan cara mengatasi sampah dengan
mengolahnya menjadi barang berguna melalui industri kerajinan kreatif, namun
banyak hambatan diantaranya karena ada sifat manusia yang malas atau malu untuk
melakukan pengumpulan sampah dan mengolahnya menjadi barang bermanfaat,
sehingga pengurangan angka kemiskinan dengan cara memberdayakan masyarakat
untuk aktif memilah sampah, mendaurulang, dan menggunakannya kembali sebagai
bahan dasar untuk pembuatan barang bermanfaat melalui kerajinan, belum bisa
terwujud secara maksimal. (Pram)