Gerakan Jati Rasa, Agenda Siapa?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Kata damai dan perdamaian adalah kebutuhan asasi manusia
untuk hidup selaras, serasi dan tenang. Tetapi ketika terjadi konflik, proses
mendamaikan selalu mengalami jalan buntu karena semua pihak mencurigai siapa
yang berkepentingan dalam agenda perdamaian.
Perdamaian sebagai hasil ternyata menyaratkan proses yang juga
mengandung aspek kedamaian. Pengalaman
saya dalam memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat berkonflik seperti
terjadi di Maluku memerlukan waktu yang lama.
Dialog budaya Maluku yang melibatkan pemuda-pemudi muslim dan Kristen di
Yogyakarta bisa terjadi sesudah berbulan-bulan mereka sendiri saling menjajaki
untuk saling bertemu sebelum akhirnya sepakat tentang pelaksanaan kegiatan
dialog tsb. Kira-kira empat bulan diperlukan untuk pemuda-pemudi dari propinsi
Maluku bertemu setiap minggu di Pondok
Tali Rasa, di antara bulan April sampai dengan Agustus 2004 sebelum akhirnya
kegiatan bersejarah itu bisa dilakukan pada bulan Agustus 2014.
Sebenarnya pagi ini saya lebih memilih untuk menulis bukan
tentang gerakan pendamaian di Maluku melainkan tentang gerakan jati rasa karena
pelaksanaannya tidak terkait dengan agenda siapapun. Di Yogya, sebelum suatu cerita pewayangan
dialihkan dalam babakan cerita, sang dalang akan mengangkat “gunungan”
menggerakkan dengan tangannya sambil mengatakan “sejatine rasa manungsa naming manembah
Gusti Allah, kanthi tumindak ingkang adiluhung”. Terjemahan kata-kata bahasa Jawa ini ke dalam
bahasa Indonesia adalah, “sesungguhnya dalam hati sanubari manusia hanya
bersujud pada Allah dengan bertingkah laku yang mulia”. Jati rasa sebagai kata ternyata juga berakar
pada kalimat sakral dari sang dalang, “sejatine rasa” yang menunjukkan kepada
hati sanubari.
Semua manusia mempunyai hati sanubari, bagian yang paling
penting sebagai inti kehidupan. Dalam anatomi tubuh manusia, di manakah
letaknya hati sanubari, saya bertanya-tanya sesudah merenungkan kalimat sang
dalang yang ditulis kembali oleh sahabat saya, Siti Murkanti. Saat ini, Siti
Murkanti bersama saya sedang mempersiapkan pewayangan dengan penokohannya yang
ditampilkan di atas batik. Pewayangan merupakan domain kaum lelaki yang secara
khusus dan turun temurun berasal dari keluarga para dalang. Memperhatikan
kehidupan manusia Indonesia, yang terus mengubah dirinya, kami sebagai
perempuan turut terpanggil untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan
damai. Pewayangan melalui batik adalah
upaya untuk menyederhanakan tata cara pewayangan sehingga seorang perempuan
bisa menaburkan cerita-cerita “sejatine rasa” kepada anak-anak maupun orang dewasa
untuk tetap “eling”, ingat berperilaku kehidupan yang bersahaja di dalam dunia
yang meresahkan dirinya.
Gerakan jati rasa, “sejatine rasa” adalah gerakan membawa
kembali kehidupan manusia ke dalam hati sanubarinya. Ketika ditanyakan di mana
letak hati sanubari manusia, maka kita bisa mencermatikan dalam cetak biru
penciptaan Allah kepada manusia. Apakah yang mendebarkan manusia ketika ada perasaan suka, senang? Apa yang
mendebarkan manusia ketika ada perasaan marah? Apa yang menebarkan manusia ketika
ada perasaan kesal? Dalam diri manusia
ada tempat yang menebar-nebarkan, tetapi juga ada tempat yang membuat manusia
merasa ada bagian yang pening, berdenyut-denyut. Sering kita mendengar
seseorang mengatakan, kepalanya berdenting ketika hatinya berdebar-debar.
Manusia sangat kompleks. Ia sejak kecil diajarkan supaya tenang, tersenyum dengan
anggapan manusia bisa bernapas secara otomatis. Pewayangan “batik” menolong
kita mendengar cerita-cerita penokohan wayang yang mencerminkan karakter
"sejatine rasa" tetapi sekaligus secara bersama-sama menata kembali cara merawat, menjaga tubuh dalam keseimbangan.
Tulisan dianggap sebagai hasil dari proses berlogika.
Anggapan ini benar! Tetapi anggapan ini belum cukup untuk membuat suatu tulisan
bisa membangun imajinasi sekaligus menggerakan orang lain yang membacanya.
Karena itu, tulisan merupakan proses permenungan yang perumusannya terjadi
berbarengan dengan cara menata napas manusia. Keseimbangan dalam emosi,
pencarian makna hidup mengejawantahkan dalam proses berpikir sehingga
menghasilan tulisan yang menggerakan pembacaan menjadi suatu monumen tindakan
yang diterima dalam kesadaran untuk perubahan diri.
“Sejatine rasa”, sebagai suatu gerakan adalah proses
pencernaan kata-kata sebagai hasil berpikir yang diimplementasikan ke dalam
diri sehingga memungkinkan kata-kata mengubah mengejewantahkan menjadi tindakan yang menenangkan,
mendamaikan untuk kemudian digerakan secara berantai oleh sesama lainnya. Sebagai suatu gerakan gelombang dari efek
echo, gerakan “sejatine rasa” meninggalkan kerinduan kepada manusia kepada
hubungannya dengan Sang Pencipta. Pada
tingkatan ini, perasaan lainnya, yang terkait dengan kekesalan, keputusasaan,
kedukaan, mengalami pengangkatan karena gerakan “sejatine rasa” menghadirkan
kekuatan Sang Pencipta dalam tindakan harapan untuk mengubah situasi yang kacau
menjadi layak dihidupkan kembali.
“Sejatine rasa” memang bukan domain Karl Marx karena gerakan
ini adalah warisan bumi persada yang sampai sekarang tidak memisahkan dirinya
ketika alam kesadaran terbagi-bagi di antara yang suci dan yang profan. Gerakan “sejatine rasa” adalah cara untuk
mengintegrasikan diri manusia sesudah dipenggal-penggal oleh berbagai ajaran
dan ideologi yang ternyata menghilangkan orientasi hidup manusia kepada
pemaknaan nilai kehidupan dalam bertingkah laku yang mulia di dunia ini.
Anda adalah bagian dari gerakan “sejatine rasa” ketika
pembacaan ini selesai, karena ternyata kehidupan itu sendiri tidak pernah
berhenti sesudah pembacaan ini berakhir.
No comments:
Post a Comment