Thursday, September 25, 2014

Gerakan Jati Rasa, Agenda Siapa?


Gerakan Jati Rasa, Agenda Siapa?

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Kata damai dan perdamaian adalah kebutuhan asasi manusia untuk hidup selaras, serasi dan tenang. Tetapi ketika terjadi konflik, proses mendamaikan selalu mengalami jalan buntu karena semua pihak mencurigai siapa yang berkepentingan dalam agenda perdamaian.  Perdamaian sebagai hasil ternyata menyaratkan proses yang juga mengandung aspek kedamaian.  Pengalaman saya dalam memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat berkonflik seperti terjadi di Maluku memerlukan waktu yang lama.  Dialog budaya Maluku yang melibatkan pemuda-pemudi muslim dan Kristen di Yogyakarta bisa terjadi sesudah berbulan-bulan mereka sendiri saling menjajaki untuk saling bertemu sebelum akhirnya sepakat tentang pelaksanaan kegiatan dialog tsb. Kira-kira empat bulan diperlukan untuk pemuda-pemudi dari propinsi Maluku bertemu setiap minggu di  Pondok Tali Rasa, di antara bulan April sampai dengan Agustus 2004 sebelum akhirnya kegiatan bersejarah itu bisa dilakukan pada bulan Agustus 2014.

Sebenarnya pagi ini saya lebih memilih untuk menulis bukan tentang gerakan pendamaian di Maluku melainkan tentang gerakan jati rasa karena pelaksanaannya tidak terkait dengan agenda siapapun.  Di Yogya, sebelum suatu cerita pewayangan dialihkan dalam babakan cerita, sang dalang akan mengangkat “gunungan” menggerakkan dengan tangannya sambil mengatakan “sejatine rasa manungsa naming manembah Gusti Allah, kanthi tumindak ingkang adiluhung”.  Terjemahan kata-kata bahasa Jawa ini ke dalam bahasa Indonesia adalah, “sesungguhnya dalam hati sanubari manusia hanya bersujud pada Allah dengan bertingkah laku yang mulia”.  Jati rasa sebagai kata ternyata juga berakar pada kalimat sakral dari sang dalang, “sejatine rasa” yang menunjukkan kepada hati sanubari.

Semua manusia mempunyai hati sanubari, bagian yang paling penting sebagai inti kehidupan. Dalam anatomi tubuh manusia, di manakah letaknya hati sanubari, saya bertanya-tanya sesudah merenungkan kalimat sang dalang yang ditulis kembali oleh sahabat saya, Siti Murkanti. Saat ini, Siti Murkanti bersama saya sedang mempersiapkan pewayangan dengan penokohannya yang ditampilkan di atas batik. Pewayangan merupakan domain kaum lelaki yang secara khusus dan turun temurun berasal dari keluarga para dalang. Memperhatikan kehidupan manusia Indonesia, yang terus mengubah dirinya, kami sebagai perempuan turut terpanggil untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan damai.  Pewayangan melalui batik adalah upaya untuk menyederhanakan tata cara pewayangan sehingga seorang perempuan bisa menaburkan cerita-cerita “sejatine rasa” kepada anak-anak maupun orang dewasa untuk tetap “eling”, ingat berperilaku kehidupan yang bersahaja di dalam dunia yang meresahkan dirinya.

Gerakan jati rasa, “sejatine rasa” adalah gerakan membawa kembali kehidupan manusia ke dalam hati sanubarinya. Ketika ditanyakan di mana letak hati sanubari manusia, maka kita bisa mencermatikan dalam cetak biru penciptaan Allah kepada manusia. Apakah yang mendebarkan manusia   ketika ada perasaan suka, senang? Apa yang mendebarkan manusia ketika ada perasaan marah? Apa yang menebarkan manusia ketika ada perasaan kesal?  Dalam diri manusia ada tempat yang menebar-nebarkan, tetapi juga ada tempat yang membuat manusia merasa ada bagian yang pening, berdenyut-denyut. Sering kita mendengar seseorang mengatakan, kepalanya berdenting ketika hatinya berdebar-debar. Manusia sangat kompleks. Ia sejak kecil diajarkan supaya tenang, tersenyum dengan anggapan manusia bisa bernapas secara otomatis. Pewayangan “batik” menolong kita mendengar cerita-cerita penokohan wayang yang mencerminkan karakter "sejatine rasa" tetapi sekaligus secara bersama-sama menata kembali cara merawat, menjaga tubuh dalam keseimbangan.

Tulisan dianggap sebagai hasil dari proses berlogika. Anggapan ini benar! Tetapi anggapan ini belum cukup untuk membuat suatu tulisan bisa membangun imajinasi sekaligus menggerakan orang lain yang membacanya. Karena itu, tulisan merupakan proses permenungan yang perumusannya terjadi berbarengan dengan cara menata napas manusia. Keseimbangan dalam emosi, pencarian makna hidup mengejawantahkan dalam proses berpikir sehingga menghasilan tulisan yang menggerakan pembacaan menjadi suatu monumen tindakan yang diterima dalam kesadaran untuk perubahan diri.

“Sejatine rasa”, sebagai suatu gerakan adalah proses pencernaan kata-kata sebagai hasil berpikir yang diimplementasikan ke dalam diri sehingga memungkinkan kata-kata mengubah mengejewantahkan menjadi tindakan yang menenangkan, mendamaikan untuk kemudian digerakan secara berantai oleh  sesama lainnya.  Sebagai suatu gerakan gelombang dari efek echo, gerakan “sejatine rasa”  meninggalkan kerinduan kepada manusia kepada hubungannya dengan Sang Pencipta.  Pada tingkatan ini, perasaan lainnya, yang terkait dengan kekesalan, keputusasaan, kedukaan, mengalami pengangkatan karena gerakan “sejatine rasa” menghadirkan kekuatan Sang Pencipta dalam tindakan harapan untuk mengubah situasi yang kacau menjadi layak dihidupkan kembali.

“Sejatine rasa” memang bukan domain Karl Marx karena gerakan ini adalah warisan bumi persada yang sampai sekarang tidak memisahkan dirinya ketika alam kesadaran terbagi-bagi di antara yang suci dan yang profan.  Gerakan “sejatine rasa” adalah cara untuk mengintegrasikan diri manusia sesudah dipenggal-penggal oleh berbagai ajaran dan ideologi yang ternyata menghilangkan orientasi hidup manusia kepada pemaknaan nilai kehidupan dalam bertingkah laku yang mulia di dunia ini.

Anda adalah bagian dari gerakan “sejatine rasa” ketika pembacaan ini selesai, karena ternyata kehidupan itu sendiri tidak pernah berhenti sesudah pembacaan ini berakhir.

No comments:

Post a Comment