Wednesday, September 24, 2014

Mediasi Menjaminkan Penerusan Kreatifitas


Mediasi Menjaminkan Penerusan Kreatifitas

 

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Karl Marx tetap hidup dalam semangat saya. Sebagai seorang pemikir, Karl Marx mewariskan pemikiran kritisnya kepada peradaban modern. Studi-studi kritis yang dilakukan untuk mengerti tentang kelayakan posisi dan peran masyarakat marginal sebagaimana didekati dengan perspektif feminis berterima kasih kepada kerangka analitis yang diwariskan Marx kepada peradaban dunia. Tetapi Marx juga mewariskan ideologi revolusioner untuk menggulingkan sistem sosial yang menekan kelompok-kelompok yang dianggapnya tertindas. Permenungannya terkait dengan revolusi industry tidak menolongnya untuk melihat solusi lain kecuali memberikan dukungan kepada kaum proletariat untuk “melawan” kaum borjuis yang menindas mereka.

Kaum borjuis bukan saja pemilik modal, para ningrat tetapi juga lapisan agamawan yang dianggap menggunakan ideologi iman keagamaan untuk menjinakkan penganutnya. Agama dianggap Marx sebagai sumber penindasan manusia karena sifatnya seperti candu. Warisan pemikiran tentang masyarakat sebagai representasi dari berbagai interaksi komunitas yang selalu berkonflik ternyata turut mengkonstruksikan dan melestarikan ketegangan yang sering kali berakhir pada tindakan-tindakan kekerasan.  

Sejarah dunia menjadi saksi tentang berbagai bentuk perang yang diakibatkan dari produksi ideologi konflik ini. Pada tingkat kecil, penggunaan perspektif analitik yang memandang konflik sebagai realitas yang tidak terselesaikan juga menyebabkan kehancuran dalam keluarga. Para feminis radikal yang memandang lelaki sebagai sumber penindasan kepada perempuan ternyata terperangkap dalam analisis konflik Marxian ini.  Hehehe, saya harap bukan salah satu dari feminis dengan agenda konflik, sekalipun melakukan banyak riset di daerah konflik di Indonesia. Kerja-kerja saya langsung di akar rumput menghantarkan saya kepada bentuk feminisme perdamaian yang memberikan alasan untuk lahirnya gerakan membangun “Jati Rasa” di Indonesia.

Harus diakui, anti thesis dari radikalisme pemikiran Marx telah memunculkan studi-studi yang mencoba menemukan kealamiahan dari sifat kehidupan yang sejatinya tidak saling bernegasi.  Istilah keren untuk menjelaskan tentang sifat-sifat alamiah yang menyelubung di antara lapisan-lapisan kekuasaan yang perlu dimunculkan adalah  kata hegemoni. Sebagai representasi dari konstruksi kekuasaan,  aliran Neo Marxian mencoba menyederhanakan keradikalan pemikiran Karl Marx dengan menunjukkan adanya tindakan partisipasi dalam kekuasaan. Orang terlibat memberikan pilihan, terkait dengan selera berdasarkan sistem nilai dan keyakinan yang terbentuk di dalamnya. Penyamaran kekuasaan sehingga tampil menguatkan pilihan seseorang atau kelompok menunjukkan ketundukannya pada payung kekuasaan yang melingkupinya sekaligus memandirikannya. Hakekat alienasi yang dipersoalkan dalam pemikiran Marx sebagai akibat dari keterputusan proses produksi dengan hasilannya dikoreksi dalam pandangan hegemoni.  Kekuasaan ternyata bersifat tersirat sekaligus mengandung aspek kritik diri yang partisipatif sehingga mengandung penjelasan tentang pilihan-pilihan yang dibuat dalam suatu keputusan seseorang atau secara kolektif.

Pandangan progresif tentang bentukan kekuasaan yang tidak menakutkan sekalipun masih memungkinkan terpasung sebagai tirani memberikan harapan untuk kelanjutan kreatifitas bertumbuh menghasilkan sumber capital kepada umat manusia.  Ruang yang diberikan untuk pertumbuhan kreatifitas dimungkinkan karena adanya tindakan mediasi untuk mempertemukan berbagai orang yang berbeda untuk mencapai kesepakatan.  Istilah mentereng “mediasi” adalah representasi dari praktek negosiasi yang ada dalam sistem budaya masyarakat di berbagai tempat termasuk di Indonesia. Riset saya di Maluku Utara menunjukkan kapasitas masyarakat dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka untuk bisa mengisolasikannya dari kepentingan kelompok lain yang cenderung menginginkan penerusan konflik.  Sebagai suatu tindakan untuk membangun kesepatakan, mediasi bertumbuh secara bertahap. Kadang-kadang prosesnya berjalan terpatah-patah, tarik ulur untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dari berbagai kelompok yang saling bersitegang.
Kemarin dalam pembimbing mahasiswa S2, saya semakin yakin tentang kapasitas masyarakat Indonesia untuk membangun mekanisme mediasi  untuk menyelesaikan konflik sehingga tidak menghambat keberlangsung kreatifitas produksi.  Kelumpuhan solusi bisa terjadi karena manusia mengandalkan dirinya pada barang fisik yang diperebutkan bukan pada kemampuannya dalam mengembangkan ide menjadi suatu barang produksi yang memberikan nilai tambah kepada dirinya.  Membantu masyarakat melihat jalan mediasi yang bisa dilaluinya sekaligus mengantarkan mereka untuk menemukan ekspresi kreatifitas yang membawanya kepada peradaban baru merupakan kebahagiaan saya dalam gerakan “jati rasa” ini.  Semoga besok saya bisa meneruskan cuap-cuapnya lebih lanjut.

No comments:

Post a Comment