Mediasi Menjaminkan Penerusan Kreatifitas
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Karl Marx tetap hidup dalam semangat saya. Sebagai seorang
pemikir, Karl Marx mewariskan pemikiran kritisnya kepada peradaban modern.
Studi-studi kritis yang dilakukan untuk mengerti tentang kelayakan posisi dan
peran masyarakat marginal sebagaimana didekati dengan perspektif feminis
berterima kasih kepada kerangka analitis yang diwariskan Marx kepada peradaban
dunia. Tetapi Marx juga mewariskan ideologi revolusioner untuk menggulingkan
sistem sosial yang menekan kelompok-kelompok yang dianggapnya tertindas.
Permenungannya terkait dengan revolusi industry tidak menolongnya untuk melihat
solusi lain kecuali memberikan dukungan kepada kaum proletariat untuk “melawan”
kaum borjuis yang menindas mereka.
Kaum borjuis bukan saja pemilik modal, para ningrat tetapi
juga lapisan agamawan yang dianggap menggunakan ideologi iman keagamaan untuk
menjinakkan penganutnya. Agama dianggap Marx sebagai sumber penindasan manusia
karena sifatnya seperti candu. Warisan pemikiran tentang masyarakat sebagai
representasi dari berbagai interaksi komunitas yang selalu berkonflik ternyata
turut mengkonstruksikan dan melestarikan ketegangan yang sering kali berakhir
pada tindakan-tindakan kekerasan.
Sejarah dunia menjadi saksi tentang berbagai bentuk perang
yang diakibatkan dari produksi ideologi konflik ini. Pada tingkat kecil,
penggunaan perspektif analitik yang memandang konflik sebagai realitas yang
tidak terselesaikan juga menyebabkan kehancuran dalam keluarga. Para feminis
radikal yang memandang lelaki sebagai sumber penindasan kepada perempuan
ternyata terperangkap dalam analisis konflik Marxian ini. Hehehe, saya harap bukan salah satu dari
feminis dengan agenda konflik, sekalipun melakukan banyak riset di daerah
konflik di Indonesia. Kerja-kerja saya langsung di akar rumput menghantarkan
saya kepada bentuk feminisme perdamaian yang memberikan alasan untuk lahirnya
gerakan membangun “Jati Rasa” di Indonesia.
Harus diakui, anti thesis dari radikalisme pemikiran Marx
telah memunculkan studi-studi yang mencoba menemukan kealamiahan dari sifat
kehidupan yang sejatinya tidak saling bernegasi. Istilah keren untuk menjelaskan tentang
sifat-sifat alamiah yang menyelubung di antara lapisan-lapisan kekuasaan yang
perlu dimunculkan adalah kata hegemoni.
Sebagai representasi dari konstruksi kekuasaan, aliran Neo Marxian mencoba menyederhanakan
keradikalan pemikiran Karl Marx dengan menunjukkan adanya tindakan partisipasi
dalam kekuasaan. Orang terlibat memberikan pilihan, terkait dengan selera
berdasarkan sistem nilai dan keyakinan yang terbentuk di dalamnya. Penyamaran
kekuasaan sehingga tampil menguatkan pilihan seseorang atau kelompok
menunjukkan ketundukannya pada payung kekuasaan yang melingkupinya sekaligus
memandirikannya. Hakekat alienasi yang dipersoalkan dalam pemikiran Marx
sebagai akibat dari keterputusan proses produksi dengan hasilannya dikoreksi
dalam pandangan hegemoni. Kekuasaan
ternyata bersifat tersirat sekaligus mengandung aspek kritik diri yang partisipatif
sehingga mengandung penjelasan tentang pilihan-pilihan yang dibuat dalam suatu
keputusan seseorang atau secara kolektif.
Pandangan progresif tentang bentukan kekuasaan yang tidak
menakutkan sekalipun masih memungkinkan terpasung sebagai tirani memberikan
harapan untuk kelanjutan kreatifitas bertumbuh menghasilkan sumber capital kepada
umat manusia. Ruang yang diberikan untuk
pertumbuhan kreatifitas dimungkinkan karena adanya tindakan mediasi untuk
mempertemukan berbagai orang yang berbeda untuk mencapai kesepakatan. Istilah mentereng “mediasi” adalah
representasi dari praktek negosiasi yang ada dalam sistem budaya masyarakat di
berbagai tempat termasuk di Indonesia. Riset saya di Maluku Utara menunjukkan
kapasitas masyarakat dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka untuk
bisa mengisolasikannya dari kepentingan kelompok lain yang cenderung
menginginkan penerusan konflik. Sebagai
suatu tindakan untuk membangun kesepatakan, mediasi bertumbuh secara bertahap.
Kadang-kadang prosesnya berjalan terpatah-patah, tarik ulur untuk menjaga
keseimbangan kekuasaan dari berbagai kelompok yang saling bersitegang.
Kemarin dalam pembimbing mahasiswa S2, saya
semakin yakin tentang kapasitas masyarakat Indonesia untuk membangun mekanisme
mediasi untuk menyelesaikan konflik
sehingga tidak menghambat keberlangsung kreatifitas produksi. Kelumpuhan solusi bisa terjadi karena manusia
mengandalkan dirinya pada barang fisik yang diperebutkan bukan pada
kemampuannya dalam mengembangkan ide menjadi suatu barang produksi yang
memberikan nilai tambah kepada dirinya. Membantu
masyarakat melihat jalan mediasi yang bisa dilaluinya sekaligus mengantarkan
mereka untuk menemukan ekspresi kreatifitas yang membawanya kepada peradaban
baru merupakan kebahagiaan saya dalam gerakan “jati rasa” ini. Semoga besok saya bisa meneruskan
cuap-cuapnya lebih lanjut.
No comments:
Post a Comment