Keterhubungan “Jati Diri”, “Rasa” dan Kreatifitas
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tanggal 21 September 2014, saya meluncurkan Griya Jati Rasa
ke dunia maya. Sejak itu saya kembali
menulis lagi. Sudah sangat lama, saya
berhenti menulis kecuali membuat posting-posting yang berisikan thesis statement untuk jejaring
Facebook saya. Saya juga mempublikasikan
karya-karya seni sendiri melalui Instagram.
Tanggal 21 September 2014 adalah hari Perdamaian Internasional. Saya
ingin memberikan makna penting bagi kelahiran Griya Jati Rasa dengan
mengikatnya pada hari perdamaian internasional tsb. Peresmiannya pada dunia
nyata masih menunggu momentum yang tepat.
Keputusan memisahkan pelaksanaan kegiatan secara dunia maya dengan “real
time” muncul ketika saya bersilahturahmi ke Dinas Sosial DIY. Saya meminta
nasihat dari pejabat Dinas tentang bentuk lembaga social yang sedang saya
persiapkan untuk bisa melayani masyarakat di Indonesia. Saran mereka adalah
lembaga social berbeda dari lembaga bisnis sehingga perijinannya dilakukan sesudah mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan dalam masyarakat.
Saya sudah lama melakukan berbagai kegiatan tetapi tanpa
upaya untuk mendaftarkannya kepada pemerintah. Jadi mengapa kemudian saya
sekarang ingin mendaftarkannya? Alasannya sangat sederhana. Kegiatan kerja dari
Griya Jati Rasa yang terkait dengan pengkajian dan pengembangan kreatifitas
untuk keadilan dan perdamaian perlu mendapat pemantauan dari pemerintah.
Pemerintah perlu tahu apa yang dilakukan oleh Griya Jati Rasa bersama
masyarakat, baik yang ada pada dunia maya maupun pada dunia nyata. Jadi
angan-angan saya, ketika peresmian Griya Jati Rasa pada “real time”,
sahabat-sahabat saya dalam dunia maya juga bisa hadir. Hubungan bolak-balik
dunia maya dan real time adalah realitas dari eksistensi Griya Jati Rasa
juga. Griaya Jati Rasa berinteraksi dengan masyarakat dunia maya
yaitu mereka yang mengakses internet tetapi sekaligus menjaga kehidupan real
time di mana banyak warga biasa masih belum terhubungkan dengan dunia maya.
Sesudah dunia maya
menggencar, pandangan bahwa komunikasi yang kuat tampil pada kata makin
melemah. Efektifitas gambar diterima
sebagai media komunikasi yang sama kuat dengan pengungkapan kata-kata. Kalau
kemudian kata-kata diperlukan, sekedar menjelaskan tentang maksud gambarnya.
Kadang-kadang bahkan gambar dibiarkan menyentuh pembaca. Sebagai produk dari
kreatifitas, gambar dalam rupa foto yang menampilkan representasi utuh tentang
eksistensi objek makin diterima sebagai bagian dari proses berpikir. Orang-orang
sederhanapun ketika melihat gambar, mereka dengan mudah bisa berinteraksi.
Sebagai metode pemberdayaan, Griya Jati Rasa akan selalu membagikan pemikiran
bersama melalui blog untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran dari proses refleksi
perjumpaan dengan fenomena-fenomena social yang dihadapi bersama dalam
masyarakat. Interaksi bersama baik di antara nitizen dan orang-orang yang sama
berinteraksi di real time selalu memberikan inspirasi kepada saya untuk
menulis. Saya akan tetap menulis sampai
saya jadi nenek-nenek! Tetapi saya juga akan terus berkreasi dalam karya-karya
seni sampai saya nenek-nenek!
Penghayatan saya mengolah kapasitas “Yin” (dalam cara
menganalisis) dan “Yan” (dalam cara mengekspresikan kreatifitas) pelan-pelan
akan saya bagikan kepada nitizen maupun masyarakat real time. Perjalanan berpikir ternyata menarik untuk
ditelusuri balik terutama untuk mengerti upaya menjelaskan pemikiran secara
runtun dengan berdampak terhadap emosi diri maupun masyarakat yang secara
bersama mempunyai tujuan sosial untuk menciptakan keadilan dan perdamaian. Di sini, sekat-sekat ideology, agama,
etnisitas dan genter mengalami peleburan karena semua orang yang berpikir adalah juga ber’rasa’
sehingga mampu membangun kreatifitas untuk menggenapi proses aktualisasi
dirinya sebagai seorang manusia.
Pada tanggal 21 September 2014, saya berkeliling Yogya untuk
mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh masyarakat di sini. Pertanyaan tentang
apa bentuk kreatifitas yang mendorong masyarakat berpikir dan berupaya sehingga
memuaskan “rasa” keadilan dan perdamaian dalam diri pribadi maupun bersama
seolah-olah menemukan jawabannya.
Kejadian tersebut tiba ketika saya berhenti di XT Square yaitu kompleks
bangunan pameran yang didirikan oleh Pemerintah Kota Yogya di bekas terminal
bus Umbulharjo. Ada spanduk bertulisan “Selamat Datang Peserta Lomba Teknologi
Tepat Guna dan Masakan Olahan Serta Gelar Potensi Pemberdayaan Masyarakat”
tergantung di sisi timur dari bangun XT Square.
Spanduk tersebut sebagai petunjuk untuk membawa kami memasuki ruangan di
mana para peserta sedang memamerkan karya-karya mereka. Penyelenggaranya adalah
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM Kota Yogya). Kami
menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam untuk berdiskusi dengan peserta yang
terdiri dari siswa/i Sekolah Menengah
Umum dan para ibu-ibu dari berbagai Kelurahan di Kota Yogya.
Basis kreatifitas siswa/I SMU adalah mata pelajaran ilmu
alam. Misalkan ada alat tepat guna yang bertujuan untuk membuat tikus gusar
sehingga mandul. Alat tersebut merekam
suara cangkrik kemudian diputarkan di persawahan untuk menggusarkan tikus. Kepedulian sosial menjadi alasan yang kuat
untuk para siswa/I mengembangkan kreatifitas mereka dengan menciptakan alat
tepat guna tsb. Motivasi yang sama juga terlihat dari ibu-ibu yang mengikuti
olah masakan dan potensi. Misalkan mereka mengolah limbah plastic dari bank sampah
menjadi kerajinan tas, bunga dan aneka produk lainnya yang bernilai jual
tinggi. Kedua contoh di atas menunjukkan tentang asumsi kreatifitas tidak lagi
terfokus pada definisi barang kerajinan. Kreatifitas lebih dimengerti sebagai
upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat,
yang penciptaannya berwujud barang sehingga bisa membantu mengatasi
permasalahan tsb.
Kreatifitas dalam konteks penciptaan barang fungsional
mendorong terbentuknya jati diri seseorang maupun kelompok secara bersama untuk
mengembangkan “rasa” tanggungjawabnya dalam hidup bersama. Ternyata kreatifitas
tidak dimulai pertama-tama karena alasan ekonomis, tetapi kesadaran untuk hidup
harmonis dengan lingkungan. Kreatifitas yang dipelihara dengan berimbang dan
mewujudkan dirinya secara benar dalam representasi bentuk yang menyentuh
pergumulan bersama akan mendatangkan damai kepada diri sendiri maupun sesama. Kreatifitas adalah esensi manusia untuk
melepaskan diri dari keputusasaan sehingga tampil menguatkan jati diri yang
dengan berani menghadapi tantangan hidup yang menyeimbangkan emosi dan
spiritualitas guna meneguhkan keutuhan dirinya di hadapan sang Pencipta. Kreatifitas adalah solusi yang menggabungkan
aspek intelegensi, emosi dan spiritualitas untuk mampu hidup dengan indah dan
baik di dalam dunia ini.
No comments:
Post a Comment