Monday, September 22, 2014

Keterhubungan "Jati Diri", "Rasa" dan Kreatifitas


Keterhubungan “Jati Diri”, “Rasa” dan Kreatifitas

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Tanggal 21 September 2014, saya meluncurkan Griya Jati Rasa ke dunia maya.  Sejak itu saya kembali menulis lagi.  Sudah sangat lama, saya berhenti menulis kecuali membuat posting-posting yang  berisikan thesis statement untuk jejaring Facebook saya.  Saya juga mempublikasikan karya-karya seni sendiri melalui Instagram.  Tanggal 21 September 2014 adalah hari Perdamaian Internasional. Saya ingin memberikan makna penting bagi kelahiran Griya Jati Rasa dengan mengikatnya pada hari perdamaian internasional tsb. Peresmiannya pada dunia nyata masih menunggu momentum yang tepat.  Keputusan memisahkan pelaksanaan kegiatan secara dunia maya dengan “real time” muncul ketika saya bersilahturahmi ke Dinas Sosial DIY. Saya meminta nasihat dari pejabat Dinas tentang bentuk lembaga social yang sedang saya persiapkan untuk bisa melayani masyarakat di Indonesia. Saran mereka adalah lembaga social berbeda dari lembaga bisnis sehingga perijinannya dilakukan sesudah mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan dalam masyarakat.

Saya sudah lama melakukan berbagai kegiatan tetapi tanpa upaya untuk mendaftarkannya kepada pemerintah. Jadi mengapa kemudian saya sekarang ingin mendaftarkannya? Alasannya sangat sederhana. Kegiatan kerja dari Griya Jati Rasa yang terkait dengan pengkajian dan pengembangan kreatifitas untuk keadilan dan perdamaian perlu mendapat pemantauan dari pemerintah. Pemerintah perlu tahu apa yang dilakukan oleh Griya Jati Rasa bersama masyarakat, baik yang ada pada dunia maya maupun pada dunia nyata. Jadi angan-angan saya, ketika peresmian Griya Jati Rasa pada “real time”, sahabat-sahabat saya dalam dunia maya juga bisa hadir. Hubungan bolak-balik dunia maya dan real time adalah realitas dari eksistensi Griya Jati Rasa juga.  Griaya Jati Rasa  berinteraksi dengan masyarakat dunia maya yaitu mereka yang mengakses internet tetapi sekaligus menjaga kehidupan real time di mana banyak warga biasa masih belum terhubungkan dengan dunia maya.

 Sesudah dunia maya menggencar, pandangan bahwa komunikasi yang kuat tampil pada kata makin melemah.  Efektifitas gambar diterima sebagai media komunikasi yang sama kuat dengan pengungkapan kata-kata. Kalau kemudian kata-kata diperlukan, sekedar menjelaskan tentang maksud gambarnya. Kadang-kadang bahkan gambar dibiarkan menyentuh pembaca. Sebagai produk dari kreatifitas, gambar dalam rupa foto yang menampilkan representasi utuh tentang eksistensi objek makin diterima sebagai bagian dari proses berpikir. Orang-orang sederhanapun ketika melihat gambar, mereka dengan mudah bisa berinteraksi. Sebagai metode pemberdayaan, Griya Jati Rasa akan selalu membagikan pemikiran bersama melalui blog untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran dari proses refleksi perjumpaan dengan fenomena-fenomena social yang dihadapi bersama dalam masyarakat. Interaksi bersama baik di antara nitizen dan orang-orang yang sama berinteraksi di real time selalu memberikan inspirasi kepada saya untuk menulis.  Saya akan tetap menulis sampai saya jadi nenek-nenek! Tetapi saya juga akan terus berkreasi dalam karya-karya seni sampai saya nenek-nenek!

Penghayatan saya mengolah kapasitas “Yin” (dalam cara menganalisis) dan “Yan” (dalam cara mengekspresikan kreatifitas) pelan-pelan akan saya bagikan kepada nitizen maupun masyarakat real time.  Perjalanan berpikir ternyata menarik untuk ditelusuri balik terutama untuk mengerti upaya menjelaskan pemikiran secara runtun dengan berdampak terhadap emosi diri maupun masyarakat yang secara bersama mempunyai tujuan sosial untuk menciptakan keadilan dan perdamaian.  Di sini, sekat-sekat ideology, agama, etnisitas dan genter mengalami peleburan karena semua orang yang berpikir adalah juga ber’rasa’ sehingga mampu membangun kreatifitas untuk menggenapi proses aktualisasi dirinya sebagai seorang manusia.

Pada tanggal 21 September 2014, saya berkeliling Yogya untuk mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh masyarakat di sini. Pertanyaan tentang apa bentuk kreatifitas yang mendorong masyarakat berpikir dan berupaya sehingga memuaskan “rasa” keadilan dan perdamaian dalam diri pribadi maupun bersama seolah-olah menemukan jawabannya.  Kejadian tersebut tiba ketika saya berhenti di XT Square yaitu kompleks bangunan pameran yang didirikan oleh Pemerintah Kota Yogya di bekas terminal bus Umbulharjo. Ada spanduk bertulisan “Selamat Datang Peserta Lomba Teknologi Tepat Guna dan Masakan Olahan Serta Gelar Potensi Pemberdayaan Masyarakat” tergantung di sisi timur dari bangun XT Square.  Spanduk tersebut sebagai petunjuk untuk membawa kami memasuki ruangan di mana para peserta sedang memamerkan karya-karya mereka. Penyelenggaranya adalah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM Kota Yogya). Kami menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam untuk berdiskusi dengan peserta yang terdiri dari siswa/i  Sekolah Menengah Umum dan para ibu-ibu dari berbagai Kelurahan di Kota Yogya.

Basis kreatifitas siswa/I SMU adalah mata pelajaran ilmu alam. Misalkan ada alat tepat guna yang bertujuan untuk membuat tikus gusar sehingga mandul.  Alat tersebut merekam suara cangkrik kemudian diputarkan di persawahan untuk menggusarkan tikus.  Kepedulian sosial menjadi alasan yang kuat untuk para siswa/I mengembangkan kreatifitas mereka dengan menciptakan alat tepat guna tsb. Motivasi yang sama juga terlihat dari ibu-ibu yang mengikuti olah masakan dan potensi. Misalkan mereka mengolah limbah plastic dari bank sampah menjadi kerajinan tas, bunga dan aneka produk lainnya yang bernilai jual tinggi. Kedua contoh di atas menunjukkan tentang asumsi kreatifitas tidak lagi terfokus pada definisi barang kerajinan. Kreatifitas lebih dimengerti sebagai upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, yang penciptaannya berwujud barang sehingga bisa membantu mengatasi permasalahan tsb.

Kreatifitas dalam konteks penciptaan barang fungsional mendorong terbentuknya jati diri seseorang maupun kelompok secara bersama untuk mengembangkan “rasa” tanggungjawabnya dalam hidup bersama. Ternyata kreatifitas tidak dimulai pertama-tama karena alasan ekonomis, tetapi kesadaran untuk hidup harmonis dengan lingkungan. Kreatifitas yang dipelihara dengan berimbang dan mewujudkan dirinya secara benar dalam representasi bentuk yang menyentuh pergumulan bersama akan mendatangkan damai kepada diri sendiri maupun sesama.  Kreatifitas adalah esensi manusia untuk melepaskan diri dari keputusasaan sehingga tampil menguatkan jati diri yang dengan berani menghadapi tantangan hidup yang menyeimbangkan emosi dan spiritualitas guna meneguhkan keutuhan dirinya di hadapan sang Pencipta.  Kreatifitas adalah solusi yang menggabungkan aspek intelegensi, emosi dan spiritualitas untuk mampu hidup dengan indah dan baik di dalam dunia ini.

No comments:

Post a Comment