Sunday, September 21, 2014

Menenun sejarah nama, Griya Jati Rasa


Menenun sejarah nama, Griya Jati Rasa.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Jati Rasa adalah nama dari pondok kami di Alas Wegode, Parangtritis. Di sini berdiri rumah pusaka dari nenek moyang saya yang dipindahkan dari desa  Taji, Prambanan ke tebing menghadap pantai selatan.  Bersama dengan rumah kami di daerah Sleman, Pondok Jati Rasa menggunakan kata “rasa” sebagai kata yang sangat penting dalam jati diri manusia Indonesia. Rumah di Sleman, kami menamakannya Pondok Tali Rasa. Eksistensi Pondok Tali Rasa lahir sesudah gerakan Reformasi, tepatnya tanggal 11 Februari 1998.  Sedangkan rumah pusaka kakek buyut saya dipindahkan pada tanggal 26 Juli 2004. Usia pondok Jati Rasa sudah uzur, karena dibangun tahun 1822. Tahun pembuatannya diukir pada salah satu tiang raja yang berada pada rumah limasan tsb.  Lokasi rumah di Alas Wegode di kelilingi oleh kebun jati.  Alasan inilah yang menyebabkan rumah kakek buyut dipanggil Pondok Jati Rasa. Sekalipun pemindahannya baru terjadi tahun 2004, tetapi eksistensinya sangat tua.

Tetapi Pondok Tali Rasa dibangun dengan konsep yang menyadari mendalam eksistensi dirinya yang juga bagian dari sejarah yang tua, suatu sejarah turun temurun yang mengalir dalam diri manusia. Dalam Pondok Tali Rasa kami menghadirkan peradaban Merapi dan Prambanan dalam wujud bebatuan untuk membentuk lengkungan pembatas (ark) sebagai perspektif.  Secara geologi, lahar dan bebatuan dari erupsi Merapi mengalir di sepanjang sungai  Opak di samping dari candi Prambanan.  Batu Merapi adalah batu vulkanik yang berwarna hitam sedang batu dari sungai Opak berwarna putih keemasan.  Dengan adanya kedua jenis peradaban batu yang membentuk “ark” pada Pondok Tali Rasa maka eksistensi dirinya bisa disejajarkan dengan Pondok Jati Rasa yang adalah produk historis.

Anehnya ketika kami membangun Pondok Tali Rasa, rumah pusaka dari kakek buyut saya belum kami miliki. Sekalipun demikian, kedua rumah ini kemudian diikat dengan kata “Rasa” sebagai kata yang sangat penting mengejawantahkan eksistensi manusia dengan keindraannya yang lengkap. Rasa sebagai kata berakar dalam bahasa Sansekerta merepresentasikan keutuhan ciptaan manusia. Rasa adalah cakra kesadaran sejati manusia dalam mengkonsepkan, mengvisualisasikan dalam penglihatan, menyentuh, mengalami, dan mencicipi. Kesejatian manusia sebagai keutuhan ciptaan dari Sang Pencipta mungkin bisa dipilah-pilah dengan menggunakan pengetahuan modern, tetapi dalam perjalanannya  akan kembali kepada cakra “rasa” yang menyatukan. Seperti “Tali” yang menyatukan kesejatian kedirian manusia, Pondok Tali Rasa sejak dibangun menjelaskan dirinya dalam aktivitas dari hari ke hari untuk berbagi dengan sesame makhluk di sekitar lingkungannya.

Sejarah inilah yang menyebabkan saya meneruskan penggunaan “Jati Rasa” dibawa masuk ke Sleman untuk memberikan nama bagi “Griya Jati Rasa”.  Rumah pusaka di Alas Wegode akan tetap disebut Pondok Jati Rasa. Tetapi Griya Jati Rasa, adalah rumah yang tidak lagi menjadi warisan keluarga, melainkan menyewantahkan dirinya sebagai rumah publik.  Griya Jati Rasa sebagai wadah untuk membangun bersama karakter manusia  yang mengintegrasikan “rasa”  membentuk jati diri bangsa.

Kata “Jati” sudah lama saya refleksikan terutama dengan memperhatikan perilakunya di alam. Di Alas Wegode, di hutan “gede” di Parangtritis, saya mengamati mekanisme perkembangan pohon jati.  Sifat ungul pohon Jati terlihat pada daunnya. Ketika musim kering, untuk mengakomodasikan ketahanannya daun-daunnya digugurkan.  Saya sangat suka berjalan di atas dedaunan jati karena gesekannya memberikan ketenangan irama musik alam. Kemudian saya sadar, suami saya, pak Bernie ternyata suka sekali berjalan di atas dedaunan pepohonan di musim gugur di Negara dengan empat musim.  Kekokohan kayu jati, yang di Jawa dikenal sebagai kayu kelas satu ternyata ditentukan oleh penguatan kambium yang sangat disukai oleh rayap. Memang sangat aneh! Ternyata rayap sangat menyukai “kambium” sehingga pada musim transisi dari musim hujan ke musim kering atau musim kering ke musim penghujan, rayap akan mengerumuninya.  Fenomena simbiosis mutualisme sangat kuat terlihat pada tahap ini.

Rasa sebagai representasi kualitas sejati diri ternyata harus dipicu pembentukannya dari kolaborasi berbagai makhluk hidup, termasuk juga rayap yang sangat dimusuhi oleh manusia karena sifatnya yang dianggap pemusnah kayu.  Pengendali rayap sebagai pemicu mekanisme penguatan batang jati terbentuk secara alamiah. Dengan pembelajaran, pengendali rayap tetap perlu dilakukan sehingga tidak berpindah memakan kayu-kayu dari suatu bangunan.  Saya memaknainya dengan mengerti konteks penguatan batang-batang Jati untuk mengerti asal usul penamaan dirinya sebagai Jati. Kata “Jati” adalah juga bahasa Sansekerta. Jati sebagai inti dari hasil pemakanan rayap untuk mendorong pembesaran batang-batang pohon.  Semakin besar pohon jati terbentuk, semakin terlihat kemampuannya untuk diproses menjadi inti yang kokoh. Kata Jati kemudian digunakan untuk menunjukkan kedirian manusia seperti Jati Diri, yang terkait dengan karakter, inti pribadi seseorang atau bangsa.

Griya Jati Rasa adalah Rumah yang memungkinkan penguatan “rasa” berproses bersama-sama dengan “sejati” manusia untuk membangun Indonesia yang bermartabat dan berbudi luhur di hadapan Sang Pencipta dan umat manusia.

No comments:

Post a Comment