Menenun sejarah nama, Griya Jati Rasa.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Jati Rasa adalah nama dari pondok kami di Alas Wegode,
Parangtritis. Di sini berdiri rumah pusaka dari nenek moyang saya yang
dipindahkan dari desa Taji, Prambanan ke
tebing menghadap pantai selatan. Bersama
dengan rumah kami di daerah Sleman, Pondok Jati Rasa menggunakan kata “rasa”
sebagai kata yang sangat penting dalam jati diri manusia Indonesia. Rumah di
Sleman, kami menamakannya Pondok Tali Rasa. Eksistensi Pondok Tali Rasa lahir
sesudah gerakan Reformasi, tepatnya tanggal 11 Februari 1998. Sedangkan rumah pusaka kakek buyut saya dipindahkan
pada tanggal 26 Juli 2004. Usia pondok Jati Rasa sudah uzur, karena dibangun
tahun 1822. Tahun pembuatannya diukir pada salah satu tiang raja yang berada pada
rumah limasan tsb. Lokasi rumah di Alas
Wegode di kelilingi oleh kebun jati.
Alasan inilah yang menyebabkan rumah kakek buyut dipanggil Pondok Jati
Rasa. Sekalipun pemindahannya baru terjadi tahun 2004, tetapi eksistensinya sangat
tua.
Tetapi Pondok Tali Rasa dibangun dengan konsep yang
menyadari mendalam eksistensi dirinya yang juga bagian dari sejarah yang tua,
suatu sejarah turun temurun yang mengalir dalam diri manusia. Dalam Pondok Tali
Rasa kami menghadirkan peradaban Merapi dan Prambanan dalam wujud bebatuan
untuk membentuk lengkungan pembatas (ark) sebagai perspektif. Secara geologi, lahar dan bebatuan dari
erupsi Merapi mengalir di sepanjang sungai Opak di samping dari candi Prambanan. Batu Merapi adalah batu vulkanik yang
berwarna hitam sedang batu dari sungai Opak berwarna putih keemasan. Dengan adanya kedua jenis peradaban batu yang
membentuk “ark” pada Pondok Tali Rasa maka eksistensi dirinya bisa disejajarkan
dengan Pondok Jati Rasa yang adalah produk historis.
Anehnya ketika kami membangun Pondok Tali Rasa, rumah pusaka
dari kakek buyut saya belum kami miliki. Sekalipun demikian, kedua rumah ini
kemudian diikat dengan kata “Rasa” sebagai kata yang sangat penting
mengejawantahkan eksistensi manusia dengan keindraannya yang lengkap. Rasa
sebagai kata berakar dalam bahasa Sansekerta merepresentasikan keutuhan ciptaan
manusia. Rasa adalah cakra kesadaran sejati manusia dalam mengkonsepkan,
mengvisualisasikan dalam penglihatan, menyentuh, mengalami, dan mencicipi.
Kesejatian manusia sebagai keutuhan ciptaan dari Sang Pencipta mungkin bisa
dipilah-pilah dengan menggunakan pengetahuan modern, tetapi dalam
perjalanannya akan kembali kepada cakra “rasa”
yang menyatukan. Seperti “Tali” yang menyatukan kesejatian kedirian manusia, Pondok
Tali Rasa sejak dibangun menjelaskan dirinya dalam aktivitas dari hari ke hari
untuk berbagi dengan sesame makhluk di sekitar lingkungannya.
Sejarah inilah yang menyebabkan saya meneruskan penggunaan “Jati
Rasa” dibawa masuk ke Sleman untuk memberikan nama bagi “Griya Jati Rasa”. Rumah pusaka di Alas Wegode akan tetap
disebut Pondok Jati Rasa. Tetapi Griya Jati Rasa, adalah rumah yang tidak lagi
menjadi warisan keluarga, melainkan menyewantahkan dirinya sebagai rumah publik. Griya Jati Rasa sebagai wadah untuk membangun
bersama karakter manusia yang
mengintegrasikan “rasa” membentuk jati
diri bangsa.
Kata “Jati” sudah lama saya refleksikan terutama dengan
memperhatikan perilakunya di alam. Di Alas Wegode, di hutan “gede” di
Parangtritis, saya mengamati mekanisme perkembangan pohon jati. Sifat ungul pohon Jati terlihat pada daunnya.
Ketika musim kering, untuk mengakomodasikan ketahanannya daun-daunnya
digugurkan. Saya sangat suka berjalan di
atas dedaunan jati karena gesekannya memberikan ketenangan irama musik alam. Kemudian
saya sadar, suami saya, pak Bernie ternyata suka sekali berjalan di atas
dedaunan pepohonan di musim gugur di Negara dengan empat musim. Kekokohan kayu jati, yang di Jawa dikenal
sebagai kayu kelas satu ternyata ditentukan oleh penguatan kambium yang sangat
disukai oleh rayap. Memang sangat aneh! Ternyata rayap sangat menyukai “kambium”
sehingga pada musim transisi dari musim hujan ke musim kering atau musim kering
ke musim penghujan, rayap akan mengerumuninya.
Fenomena simbiosis mutualisme sangat kuat terlihat pada tahap ini.
Rasa sebagai representasi kualitas sejati diri ternyata harus
dipicu pembentukannya dari kolaborasi berbagai makhluk hidup, termasuk juga
rayap yang sangat dimusuhi oleh manusia karena sifatnya yang dianggap pemusnah
kayu. Pengendali rayap sebagai pemicu
mekanisme penguatan batang jati terbentuk secara alamiah. Dengan pembelajaran,
pengendali rayap tetap perlu dilakukan sehingga tidak berpindah memakan kayu-kayu
dari suatu bangunan. Saya memaknainya
dengan mengerti konteks penguatan batang-batang Jati untuk mengerti asal usul
penamaan dirinya sebagai Jati. Kata “Jati” adalah juga bahasa Sansekerta. Jati
sebagai inti dari hasil pemakanan rayap untuk mendorong pembesaran
batang-batang pohon. Semakin besar pohon
jati terbentuk, semakin terlihat kemampuannya untuk diproses menjadi inti yang
kokoh. Kata Jati kemudian digunakan untuk menunjukkan kedirian manusia seperti
Jati Diri, yang terkait dengan karakter, inti pribadi seseorang atau bangsa.
Griya Jati Rasa adalah Rumah yang memungkinkan penguatan “rasa”
berproses bersama-sama dengan “sejati” manusia untuk membangun Indonesia yang
bermartabat dan berbudi luhur di hadapan Sang Pencipta dan umat manusia.
No comments:
Post a Comment