Membawa semangat gerakan Jati Rasa ke tanah Papua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Baru-baru ini, di akhir pekan lalu, tanggal 26-27 September,
saya membawa 13 sahabat-sahabat kecil
saya, adik-adik dari Serui, Papua untuk belajar di alam jati rasa. Seperti
sudah saya jelaskan, Griya Jati Rasa terletak di Sleman Yogyakarta. Sedangkan
Pondok Jati Rasa, rumah pusaka berada di Alas Wegode di atas tebing menghadap
laut selatan. Alas dalam bahasa Jawa berarti hutan. Wegode artinya besar. Di
sini, pada tahun 2004, kami memindahkan rumah pusaka, bangunan limasan yang
dibangun tahun 1822, rumah dari kakek buyut saya di desa Taji Prambanan ke Alas
Wegode. Hutan yang melingkupi 10 ha inilah yang saya maksudkan dengan alam jati
rasa.
Adik-adik dari Serui, Papua sedang mengikuti program magang
di Universitas Kristen Duta Wacana. Mereka adalah pelajar dari Sekolah Menengah
Kejuruan Kristen di Serui, Papua. Sebelum
mereka ke alam Jati Rasa, ada tiga kali mereka melakukan pertemuan di Pondok
Tali Rasa. Pondok Tali Rasa adalah
pendopo di mana kegiatan pertemuan untuk belajar bersama bisa dilakukan. Kegiatan Griya Jati Rasa menggunakan pendopo
Pondok Tali Rasa untuk melakukan tiga kali pertemuan dengan adik-adik dari SMK
Serui. Pertemuan pertama pada tanggal 10
September 2014 dengan topik, “Mengalami warna dan pewarnaan”. Pertemuan kedua, tanggal 19 September 2014
dengan topik “Mengenal bentuk, bahan obyek dan memvisualisasikannya”. Tanggal 24 September 2014, topik bahasan
adalah “Mengamati wajah dan Mengekspresikan wajah dalam gambar”. Ketika mereka berada di alam jati rasa selama
24 jam, ada serangkaian aktivitas dengan topik “Menemukan Jati Diri dan Keselarasan
dengan alam raya”. Tulisan ini hadir
belakangan tetapi pada saat kegiatan dilakukan saya langsung memposting
prosesnya melalui jejaring “Instagram” yang disebarkan melalui Facebook dan
Twitter. Tujuan penyampaian proses kegiatan langsung adalah untuk mendorong
proses pembelajaran publik demi penguatan pencarian diri mereka yang terlibat
langsung dalam proses belajar tsb. Dalam pertemuan di alam jati rasa, tiga
adik-adik Serui berhalangan hadir karena sakit, tetapi mereka terlibat dalam
kegiatan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya di Griya Jati Rasa di Sleman.
Tinggal selama 24 jam di Pondok Jati Rasa memberikan
pengalaman yang berbeda kepada sahabat-sahabat saya, juga kepada kami, pak
Tumijo, bu Sarijem dan saya. Pak Tumijo dan bu Sarijem adalah sepasang suami
isteri yang menjaga alam jati rasa.
Mereka dibesarkan di Alas Wegode. Ketika adik-adik Serui dan saya tiba,
kami diterima oleh pak Tumijo dan bu Sarijem.
Kekagetan adik-adik Papua masih belum sirna, karena jalan ke situ harus
melewati tanjakan terjal dengan perjalanan mobil yang menantang. Tetapi saya
sudah biasa menyopir di medan yang bergelombang ini. Musim kering menyebabkan dedaunan jati
menutupi jalan paving block sehingga menimbulkan musik ketika ban mobil
mengngilasnya. Tetapi suara gemercik dedaunan itu segera terhapus sesudah kita
tiba di Pondok Jati Rasa yang dibangun sangat dekat dengan tebing menghadap
laut selatan. Ombaknya yang memecah di bebatuan seolah menghapus jejak dari perjalanan melewati dedaunan jati yang
menutupi jalan mobil ke sana. Adik-adik Papua bertanya bagaimana bisa membuat
rumah di sini. Saya kemudian menjelaskan tentang sejarah rumah pusaka. Tetapi yang membuat mereka terkagum tentang
kejatidirian manusia ternyata menyatu dengan alam adalah cerita tentang
menentukan lokasi di mana Pondok Jati Rasa berada.
Ceritanya begini. Suatu hari, di tahun 2003 ketika kami
mulai mempersiapkan lokasi untuk rumah yang akan di bangun sesudah
infrastruktur jalan dibangun. Gunung harus dibentangkan supaya bisa dilewati
mobil. Kami berencana memilih lokasi di lahan yang sekarang adalah rumah kecil
untuk pak Tumijo dan bu Sarijem. Tetapi suatu hari, pak Bernie dan saya
berjalan ke tanah belukar yang ditutupi oleh alang-alang. Ketika kami berada di
sana, tiba-tiba saya merasa sangat ngantuk. Saya kemudian memutuskan tidur.
Saya membaringkan diri di atas alang-alang dan tertidur pulas kurang lebih 45
menit. Pak Bernie sangat heran karena saya bisa tidur sangat nyenyak di atas
alang-alang sekalipun tubuh dibungkus oleh sinar mentari sore yang masih cukup
panas. Ketika saya terbangun saya sangat bahagia. Pak Bernie bertanya apa yang
saya rasakan. Saya katakan. Saya tidur nyenyak dan sekarang sudah segar
lagi. Kejadian ini menyebabkan pak
Bernie akhirnya memutuskan memindahkan lokasi rumah pusaka Pondok Jati Rasa ke
tempat saya tidur. Sekarang Pondok Jati Rasa berdiri di tempat saya pernah
tidur. Pikiran pak Bernie, kalau saya bisa tidur nyenyak berbantalan
alang-alang berarti lokasi ini aman untuk dibangun rumah di sana. Kemudian sesudah rumah pusaka di bangun di
lokasi sekarang, bu Sarijem yang mulai menjaga di sana bercerita bahwa ia
menghabiskan masa kecilnya di lokasi ini karena kakek dan neneknya membangun
rumah kecil untuk tinggal selama masa tanam padi. Dari perspektif bu Sarijem, mungkin kakek
neneknya menyambut kami membangun rumah pusaka dan cucunya yang menjaga.
Cerita ini adalah salah satu dari sambutan yang saya bagikan
kepada adik-adik Papua. Ada beberapa
yang tinggal di pulau-pulau kecil mengelilingi pulau Serui. Misalkan seorang
adik bernama Rita Mambai yang rumahnya dekat pantai di Serui. Tetapi ketika
Rita tidur bermalam di Pondok Jati Rasa, Rita belajar kembali menyatukan ritme
ombak yang bergemuruh dengan pengalaman dari ombak yang lembut di Serui.
Adik-adik Papua mengalami pengalaman baru, karena mereka belajar untuk tidur
dengan suara ombak yang memecah, yang dirasakan menakutkan bagi mereka. Saya terbangun tengah malam dan berjalan
menyelimuti mereka karena hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami membuat
perapian untuk menghangatkan ruangan tetapi apinya sudah padam ketika saya
terbangun tengah malam.
Kami membahas rencana kegiatannya bersama. Belajar hidup dengan alam menjadi focus kegiatan.
Kami menghabiskan waktu masing-masing dua
jam setengah di berkelilingi hutan alam Jati Rasa dan bercanda dengan laut di
pantai Parangtritis. Pagi hari sebelum
kami berjalan saya membacakan Kitab Kejadian tentang Allah menciptakan langit
dan bumi serta isinya untuk kami renungkan bersama. Kemudian pada saat makan
pagi, adik Ira Rahmawati memimpin doa dalam bahasa Arab untuk memohonkan
berkat bagi kesehatan dan kehidupan kita semua. Di antara 16 adik-adik Papua,
ada 2 orang yang beragama Islam. Ketika kami masih melakukan kegiatan di Griya
Jati Rasa di Sleman, Ira Rahmawati juga memimpin lagu shawalat dan doa untuk
mengakhiri salah satu kegiatan pertemuan pada waktu itu. Keselarasan kehidupan dimulai dengan tindakan
hidup untuk mengundang Tuhan, memuliakanNya dan mendamaikan diri pribadi seorang
manusia sehingga bisa memberikan ruang kasih sayang diisi oleh seorang yang
berbeda secara fisik, warna kulit, gender, ideologi maupun agama.
Saya menulis cerita ini untuk sahabat-sahabat kecil saya,
adik-adik dari Serui, Papua, karena mereka adalah calon pemimpin bangsa. Saya selalu akan ingat mereka ketika tidur berbantalan daun jati di alam Jati Rasa. Ketika itu kami dalam perjalanan mengelilingi hutan, saya bercerita tentang jati dan daun jati kemudian saya mengajak mereka tidur. Hehehe mereka langsung tidur sementara saya mengabadikan foto mereka. Saya juga ingat ketika menjelaskan tentang "parenting tree", yaitu pohon Epe, pohon yang tertua di alam Jati Rasa. Berbeda dengan karakter daun jati yang menggugur pada musim kering, pohon Epe selalu berdaun hijau segar pada dedaunan baru di musim kering. Ketika saya menjelaskan tentang pohon Epe, kemudian meminta adik-adik Papua berfoto bersama, ada tanda cinta (love) di antara pepohonan. Saya terharu melihat tanda alam yang memberkati adik-adik Papua.
Mereka
akan kembali ke Serui, Papua sebagai pribadi-pribadi yang akan menghadirkan
keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
Terima kasih Kristin Mocodompis, Nur Fitri Kamarey, Fitria Tanawani,
Novantri Korwa, Silvera Taribaba, Diana Mambai, Rita Y. Mambai, Ira Rahmawati,
Alfonsina Mundoni, Amsal M. Wira.P, Wilfred Payang, Jitro Fonatab, Valentin
Rerei, Daud dan Ben. Seorang sahabat kecil menulis kesannya. “Saya sangat
senang sekali bisa belajar banyak tentang apa yang saya tidak tahu selama ini?
Ini juga menjadi suatu kebanggaan bagi saya, karena kami siswa SMK YPK Serui
yang pertama kali dibolehkan untuk tinggal di Parangtritis (Pondok Jati Rasa)
serta ibu Farsi mengajarkan kami tentang banyak hal, yaitu, harus sabar dalam
menjalani kepahitan hidup, harus menyayangi alam dan masih banyak lagi yang
tidak sempat saya tulis”. Seorang lain
menulis. “Saya sangat senang dan bangga bisa diajarkan dan diberikan kesempatan
dari ibu Nona untuk mengenal warna yang berkaitan dengan hidup seseorang. Saya
sangat bersyukur bisa mendapatkan pengalaman baru. Semoga apa yang saya dapat
menopang hidup saya nanti”.
No comments:
Post a Comment