Monday, September 29, 2014

Membawa semangat gerakan Jati Rasa ke tanah Papua.


Membawa semangat gerakan Jati Rasa ke tanah Papua

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Baru-baru ini, di akhir pekan lalu, tanggal 26-27 September,  saya membawa 13 sahabat-sahabat kecil saya, adik-adik dari Serui, Papua untuk belajar di alam jati rasa. Seperti sudah saya jelaskan, Griya Jati Rasa terletak di Sleman Yogyakarta. Sedangkan Pondok Jati Rasa, rumah pusaka berada di Alas Wegode di atas tebing menghadap laut selatan. Alas dalam bahasa Jawa berarti hutan. Wegode artinya besar. Di sini, pada tahun 2004, kami memindahkan rumah pusaka, bangunan limasan yang dibangun tahun 1822, rumah dari kakek buyut saya di desa Taji Prambanan ke Alas Wegode. Hutan yang melingkupi 10 ha inilah yang saya maksudkan dengan alam jati rasa.

Adik-adik dari Serui, Papua sedang mengikuti program magang di Universitas Kristen Duta Wacana. Mereka adalah pelajar dari Sekolah Menengah Kejuruan Kristen di Serui, Papua.  Sebelum mereka ke alam Jati Rasa, ada tiga kali mereka melakukan pertemuan di Pondok Tali Rasa.  Pondok Tali Rasa adalah pendopo di mana kegiatan pertemuan untuk belajar bersama bisa dilakukan.  Kegiatan Griya Jati Rasa menggunakan pendopo Pondok Tali Rasa untuk melakukan tiga kali pertemuan dengan adik-adik dari SMK Serui.  Pertemuan pertama pada tanggal 10 September 2014 dengan topik, “Mengalami warna dan pewarnaan”.  Pertemuan kedua, tanggal 19 September 2014 dengan topik “Mengenal bentuk, bahan obyek dan memvisualisasikannya”.  Tanggal 24 September 2014, topik bahasan adalah “Mengamati wajah dan Mengekspresikan wajah dalam gambar”.   Ketika mereka berada di alam jati rasa selama 24 jam, ada serangkaian aktivitas dengan topik “Menemukan Jati Diri dan Keselarasan dengan alam raya”.  Tulisan ini hadir belakangan tetapi pada saat kegiatan dilakukan saya langsung memposting prosesnya melalui jejaring “Instagram” yang disebarkan melalui Facebook dan Twitter. Tujuan penyampaian proses kegiatan langsung adalah untuk mendorong proses pembelajaran publik demi penguatan pencarian diri mereka yang terlibat langsung dalam proses belajar tsb. Dalam pertemuan di alam jati rasa, tiga adik-adik Serui berhalangan hadir karena sakit, tetapi mereka terlibat dalam kegiatan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya di Griya Jati Rasa di Sleman.

Tinggal selama 24 jam di Pondok Jati Rasa memberikan pengalaman yang berbeda kepada sahabat-sahabat saya, juga kepada kami, pak Tumijo, bu Sarijem dan saya. Pak Tumijo dan bu Sarijem adalah sepasang suami isteri yang menjaga alam jati rasa.  Mereka dibesarkan di Alas Wegode. Ketika adik-adik Serui dan saya tiba, kami diterima oleh pak Tumijo dan bu Sarijem.  Kekagetan adik-adik Papua masih belum sirna, karena jalan ke situ harus melewati tanjakan terjal dengan perjalanan mobil yang menantang. Tetapi saya sudah biasa menyopir di medan yang bergelombang ini.  Musim kering menyebabkan dedaunan jati menutupi jalan paving block sehingga menimbulkan musik ketika ban mobil mengngilasnya. Tetapi suara gemercik dedaunan itu segera terhapus sesudah kita tiba di Pondok Jati Rasa yang dibangun sangat dekat dengan tebing menghadap laut selatan. Ombaknya yang memecah di bebatuan seolah menghapus jejak dari  perjalanan melewati dedaunan jati yang menutupi jalan mobil ke sana. Adik-adik Papua bertanya bagaimana bisa membuat rumah di sini. Saya kemudian menjelaskan tentang sejarah rumah pusaka.  Tetapi yang membuat mereka terkagum tentang kejatidirian manusia ternyata menyatu dengan alam adalah cerita tentang menentukan lokasi di mana Pondok Jati Rasa berada.

Ceritanya begini. Suatu hari, di tahun 2003 ketika kami mulai mempersiapkan lokasi untuk rumah yang akan di bangun sesudah infrastruktur jalan dibangun. Gunung harus dibentangkan supaya bisa dilewati mobil. Kami berencana memilih lokasi di lahan yang sekarang adalah rumah kecil untuk pak Tumijo dan bu Sarijem. Tetapi suatu hari, pak Bernie dan saya berjalan ke tanah belukar yang ditutupi oleh alang-alang. Ketika kami berada di sana, tiba-tiba saya merasa sangat ngantuk. Saya kemudian memutuskan tidur. Saya membaringkan diri di atas alang-alang dan tertidur pulas kurang lebih 45 menit. Pak Bernie sangat heran karena saya bisa tidur sangat nyenyak di atas alang-alang sekalipun tubuh dibungkus oleh sinar mentari sore yang masih cukup panas. Ketika saya terbangun saya sangat bahagia. Pak Bernie bertanya apa yang saya rasakan. Saya katakan. Saya tidur nyenyak dan sekarang sudah segar lagi.  Kejadian ini menyebabkan pak Bernie akhirnya memutuskan memindahkan lokasi rumah pusaka Pondok Jati Rasa ke tempat saya tidur. Sekarang Pondok Jati Rasa berdiri di tempat saya pernah tidur. Pikiran pak Bernie, kalau saya bisa tidur nyenyak berbantalan alang-alang berarti lokasi ini aman untuk dibangun rumah di sana.  Kemudian sesudah rumah pusaka di bangun di lokasi sekarang, bu Sarijem yang mulai menjaga di sana bercerita bahwa ia menghabiskan masa kecilnya di lokasi ini karena kakek dan neneknya membangun rumah kecil untuk tinggal selama masa tanam padi.  Dari perspektif bu Sarijem, mungkin kakek neneknya menyambut kami membangun rumah pusaka dan cucunya yang menjaga.

Cerita ini adalah salah satu dari sambutan yang saya bagikan kepada adik-adik Papua.  Ada beberapa yang tinggal di pulau-pulau kecil mengelilingi pulau Serui. Misalkan seorang adik bernama Rita Mambai yang rumahnya dekat pantai di Serui. Tetapi ketika Rita tidur bermalam di Pondok Jati Rasa, Rita belajar kembali menyatukan ritme ombak yang bergemuruh dengan pengalaman dari ombak yang lembut di Serui. Adik-adik Papua mengalami pengalaman baru, karena mereka belajar untuk tidur dengan suara ombak yang memecah, yang dirasakan menakutkan bagi mereka.  Saya terbangun tengah malam dan berjalan menyelimuti mereka karena hawa dingin mulai menusuk tulang. Kami membuat perapian untuk menghangatkan ruangan tetapi apinya sudah padam ketika saya terbangun tengah malam. 

Kami membahas rencana kegiatannya bersama.  Belajar hidup dengan alam menjadi focus kegiatan. Kami menghabiskan waktu  masing-masing dua jam setengah di berkelilingi hutan alam Jati Rasa dan bercanda dengan laut di pantai Parangtritis.  Pagi hari sebelum kami berjalan saya membacakan Kitab Kejadian tentang Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya untuk kami renungkan bersama. Kemudian pada saat makan pagi, adik Ira Rahmawati memimpin doa dalam bahasa Arab untuk memohonkan berkat bagi kesehatan dan kehidupan kita semua. Di antara 16 adik-adik Papua, ada 2 orang yang beragama Islam. Ketika kami masih melakukan kegiatan di Griya Jati Rasa di Sleman, Ira Rahmawati juga memimpin lagu shawalat dan doa untuk mengakhiri salah satu kegiatan pertemuan pada waktu itu.  Keselarasan kehidupan dimulai dengan tindakan hidup untuk mengundang Tuhan,  memuliakanNya dan mendamaikan diri pribadi seorang manusia sehingga bisa memberikan ruang kasih sayang diisi oleh seorang yang berbeda secara fisik, warna kulit, gender, ideologi maupun agama.

Saya menulis cerita ini untuk sahabat-sahabat kecil saya, adik-adik dari Serui, Papua, karena mereka adalah calon pemimpin bangsa. Saya selalu akan ingat mereka ketika tidur berbantalan daun jati di alam Jati Rasa.  Ketika itu kami dalam perjalanan mengelilingi hutan, saya bercerita tentang jati dan daun jati kemudian saya mengajak mereka tidur. Hehehe mereka langsung tidur sementara saya mengabadikan foto mereka. Saya juga ingat ketika menjelaskan tentang "parenting tree", yaitu pohon Epe, pohon yang tertua di alam Jati Rasa. Berbeda dengan karakter daun jati yang menggugur pada musim kering, pohon Epe selalu berdaun hijau segar pada dedaunan baru di musim kering. Ketika saya menjelaskan tentang pohon Epe, kemudian meminta adik-adik Papua berfoto bersama, ada tanda cinta (love) di antara pepohonan. Saya terharu melihat tanda alam yang memberkati adik-adik Papua.
Mereka akan kembali ke Serui, Papua sebagai pribadi-pribadi yang akan menghadirkan keadilan dan perdamaian di tanah Papua.  Terima kasih Kristin Mocodompis, Nur Fitri Kamarey, Fitria Tanawani, Novantri Korwa, Silvera Taribaba, Diana Mambai, Rita Y. Mambai, Ira Rahmawati, Alfonsina Mundoni, Amsal M. Wira.P, Wilfred Payang, Jitro Fonatab, Valentin Rerei, Daud dan Ben. Seorang sahabat kecil menulis kesannya. “Saya sangat senang sekali bisa belajar banyak tentang apa yang saya tidak tahu selama ini? Ini juga menjadi suatu kebanggaan bagi saya, karena kami siswa SMK YPK Serui yang pertama kali dibolehkan untuk tinggal di Parangtritis (Pondok Jati Rasa) serta ibu Farsi mengajarkan kami tentang banyak hal, yaitu, harus sabar dalam menjalani kepahitan hidup, harus menyayangi alam dan masih banyak lagi yang tidak sempat saya tulis”.  Seorang lain menulis. “Saya sangat senang dan bangga bisa diajarkan dan diberikan kesempatan dari ibu Nona untuk mengenal warna yang berkaitan dengan hidup seseorang. Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan pengalaman baru. Semoga apa yang saya dapat menopang hidup saya nanti”.

No comments:

Post a Comment