Tuesday, September 23, 2014

Membangun masyarakat "rasa"


Membangun masyarakat “rasa”

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Saya ingin meneruskan tulisan digital (tuldig)  yang diposting kemarin. Tuldig sebelumnya diakhiri dengan temuan bahwa kreatifitas adalah upaya untuk mengatasi persoalan yang muncul pada situasi konkrit. Kreatifitas adalah celaan di mana seseorang atau kelompok melihat datangnya sinar yang masuk di ruang gelap. Sinar seperti petunjuk jalan untuk mengerti jejak diri sehingga berada dalam ruang gelap tersbt. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kreatifitas bisa muncul adalah keinginan untuk bertahan, mengatasi persoalan.  Keinginan untuk bertahan seperti sinar yang memancarkan dirinya keluar membagikan kekuatan untuk tumbuh  kepada makhluk di sekitarnya. Kreatifitas adalah tanda kemampuan manusia untuk meneruskan menumbuh dalam cara yang berbeda, sampai memunculkan sifat-sifat unggul yang teruji.

Lapisan kreatifitas di dunia yang disebarkan oleh pengaruh peradaban Cina dan Arab ditemukan bisa berkembang bersama dalam peradaban Eropa.  Tongkak kreatifitasnya berakar pada sistem berpikir, kemampuan bernalar untuk mengerti jagad semesta dalam hubungan dengan manusia sebagaimana merupakan karakter analisis dari pemikir-pemikir kesemestaan dalam masyarakat Yunani.  Batas manusia untuk menggali fenomena sosial yang terselimuti dalam peradaban tidak bisa terbendung karena interaksi berpikir dibangun sekalipun menggugat kebenaran yang sedang menyelimuti struktur kemasyarakatan yang ada.  Tanpa tekanan kreatifitas mengalir mewujudkan dirinya dalam penataan organisasi sosial yang merepresentasikan keadilan.  Kreatifitas mendorong pengubahan sistem produk dari presentasi karya tulisan, seni rupa dan produk fungsional untuk mendorong tukar menukar dalam perdagangan di antara komunitas-komunitas.   Dunia di mana tanahnya menjadi pijakan untuk melegitimasikan keberadaan suatu komunitas malahan yang cenderung mengunci rapat peluang untuk menghadirkan kreatifitas pada masyarakat.  Peluang kemunculan kreatifitas rendah ketika kekacauan dibiarkan tanpa ada mekanisme pengelolaan  yang teratur.  

Studi tentang kreatifitas bersentuhan dengan keinginan manusia untuk mengerti bagaimana suatu kelompok memproses informasi dan mengembangkannya.  Di Indonesia, ragam budaya yang tersedia menunjukkan tentang kapasitas pengolahan informasi yang berbeda-beda terwujud secara interaktif.  Pengembangannya bisa dipacu apabila sistem keterbukaan berpikir menghadirkan ide-ide baru yang mengalir keluar mencari jalan dari mata air sungai besar yang telah melahirkannya. Kapasitas informasi ini bisa disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi untuk menghasilkan pengetahuan baru yang belum menampakkan dirinya.  Misalkan komunitas kreatif yang mengembangkan ide tentang batik menguatkan bukan saja kain batiknya tetapi cara membatik. Sampai saat ini, saya masih melihat belum ada upaya untuk melakukan transformasi ide ketika batik yang biasanya melibatkan lelaki dalam proses pembersihan lilinnya (istilahnya “pelorotan”) dilakukan oleh perempuan.  Cara pelorotan dengan menggunakan otot masih dilakukan oleh pengrajin perempuan sementara solusi teknologi bisa memungkinkan penghalusan cara kerja yang memberikan dampak “keadilan” bagi kesehatan mereka belum menampakkan hasilnya.

Membangun masyarakat “rasa” merupakan tujuan yang saya dambakan  untuk  menstimulasikan kreatifitas dari warga.  Kreatifitas yang berkembang di era industri informasi saat ini telah meninggalkan komunitas produksi yang menolak melakukan inovasi. 

Ada dua hal yang saya amati menjadi penyebab stagnasi tersebut. Pertama, kreatifitas ketika digandengan dengan paham kompetisi murni cenderung memunculkan sifat individualisme untuk mendorong kemandirian produksi seseorang. Pada sisi lain, di Indonesia penekanan terhadap solidaritas sosial mendorong warga berkelompok dalam berproduksi yang kemudian mematikan kreatifitas dan kemandirian individu untuk berkarya.  Kemampuan untuk menempatkan keunikan individu dalam sistem produksi bersama perlu dipikirkan mendalam karena fenomena ini juga muncul pada era revolusi industry di Eropa tetapi tidak pernah terselesaikan. Karl Marx dalam risetnya bahkan menunjukkan sisi alienasi dari para pekerja industri karena aksesitas pengertian tidak dibukakan kepada mereka.  Perancangan dikuasai oleh kelompok pekerja terdidik sementara pekerja produksi yang dengan tekun menghasilkan barangnya semata-mata berperan sebagai buruh.

Masyarakat “rasa” adalah komunitas yang saling berinteraksi untuk menggunakan jasa pelayanan produksi yang dikembangkan secara bersama-sama yang memungkinkan proses penukaran terjadi dalam dinamika bisnis yang adil.  Perlindungan kepada proses penciptaan dalam cara produksi ketika penurunan ide dimunculkan pada bahan perlu diberikan tempat yang layak. Tahun 2011 saya menyelenggarakan pameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Salah satu karya yang dipamerkan dihasilkan oleh tiga perupa, yang masing-masing berperan dalam menurunkan ide, menjelaskannya pada gambar dan mengerjakannya. Tiga proses produksi ini dihargai setara sebagai mekanisme penciptaan yang memungkinkan prinsip keadilan diwujudkan.  Jadi tampilan produk yang ikut dipamerkan dengan judul “Bumi Menari” ditulis mengikutkan tiga nama perempuan yaitu, Fabiola yang menurunkan ide saya dalam gambar, dan Martini yang mengerjakan ide pada gambar untuk menghasilkan wujud fisiknya.  Dalam skala kecil, ketiga perempuan ini berkomitmen untuk membangun “masyarakat rasa”.  Penghargaan kepada Martini dilakukan bukan sekedar melalui pembayaran dari seorang konseptor kepada pengrajin tetapi juga dalam bentuk pengakuan terhadap tangan lembutnya membentuk bambu merepresentasikan konsep “bumi menari”.

Keadilan dalam pertukaran global bisa dibentuk apabila ada dorongan untuk menghasilkan komitmen dalam masyarakat. Pertimbangan keadilan secara nilai jual sering kali berbenturan dengan praktek pembelian di mana nilai uang bisa membeli hak cipta seseorang tanpa harus dijelaskan asal usulnya.  Bagian ini akan saya bahas kemudian karena terkait dengan situasi di bawah sadar manusia dan prasangka yang menghambat seseorang untuk terbuka mengakui keunikan pemikiran dan produksi yang dihasilkan oleh orang lain. Jadi hambatan untuk membentuk masyarakat “rasa” dimana kesatuan rangkaian produksi saling menguntungkan masih bisa terjadi dalam masyarakat baik karena aspek ketidaktahuan maupun karena kesadaran yang ada.

 

No comments:

Post a Comment