Membangun masyarakat “rasa”
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Saya ingin meneruskan tulisan digital (tuldig) yang diposting kemarin. Tuldig sebelumnya
diakhiri dengan temuan bahwa kreatifitas adalah upaya untuk mengatasi persoalan
yang muncul pada situasi konkrit. Kreatifitas adalah celaan di mana seseorang
atau kelompok melihat datangnya sinar yang masuk di ruang gelap. Sinar seperti
petunjuk jalan untuk mengerti jejak diri sehingga berada dalam ruang gelap
tersbt. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kreatifitas bisa muncul adalah
keinginan untuk bertahan, mengatasi persoalan. Keinginan untuk bertahan seperti sinar yang
memancarkan dirinya keluar membagikan kekuatan untuk tumbuh kepada makhluk di sekitarnya. Kreatifitas
adalah tanda kemampuan manusia untuk meneruskan menumbuh dalam cara yang
berbeda, sampai memunculkan sifat-sifat unggul yang teruji.
Lapisan kreatifitas di dunia yang disebarkan oleh pengaruh
peradaban Cina dan Arab ditemukan bisa berkembang bersama dalam peradaban
Eropa. Tongkak kreatifitasnya berakar
pada sistem berpikir, kemampuan bernalar untuk mengerti jagad semesta dalam
hubungan dengan manusia sebagaimana merupakan karakter analisis dari
pemikir-pemikir kesemestaan dalam masyarakat Yunani. Batas manusia untuk menggali fenomena sosial
yang terselimuti dalam peradaban tidak bisa terbendung karena interaksi
berpikir dibangun sekalipun menggugat kebenaran yang sedang menyelimuti
struktur kemasyarakatan yang ada. Tanpa
tekanan kreatifitas mengalir mewujudkan dirinya dalam penataan organisasi
sosial yang merepresentasikan keadilan.
Kreatifitas mendorong pengubahan sistem produk dari presentasi karya
tulisan, seni rupa dan produk fungsional untuk mendorong tukar menukar dalam
perdagangan di antara komunitas-komunitas.
Dunia di mana tanahnya menjadi pijakan untuk melegitimasikan keberadaan
suatu komunitas malahan yang cenderung mengunci rapat peluang untuk
menghadirkan kreatifitas pada masyarakat.
Peluang kemunculan kreatifitas rendah ketika kekacauan dibiarkan tanpa
ada mekanisme pengelolaan yang teratur.
Studi tentang kreatifitas bersentuhan dengan keinginan
manusia untuk mengerti bagaimana suatu kelompok memproses informasi dan
mengembangkannya. Di Indonesia, ragam
budaya yang tersedia menunjukkan tentang kapasitas pengolahan informasi yang
berbeda-beda terwujud secara interaktif.
Pengembangannya bisa dipacu apabila sistem keterbukaan berpikir
menghadirkan ide-ide baru yang mengalir keluar mencari jalan dari mata air
sungai besar yang telah melahirkannya. Kapasitas informasi ini bisa disesuaikan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi untuk menghasilkan pengetahuan baru yang
belum menampakkan dirinya. Misalkan
komunitas kreatif yang mengembangkan ide tentang batik menguatkan bukan saja
kain batiknya tetapi cara membatik. Sampai saat ini, saya masih melihat belum
ada upaya untuk melakukan transformasi ide ketika batik yang biasanya
melibatkan lelaki dalam proses pembersihan lilinnya (istilahnya “pelorotan”) dilakukan
oleh perempuan. Cara pelorotan dengan
menggunakan otot masih dilakukan oleh pengrajin perempuan sementara solusi
teknologi bisa memungkinkan penghalusan cara kerja yang memberikan dampak “keadilan”
bagi kesehatan mereka belum menampakkan hasilnya.
Membangun masyarakat “rasa” merupakan tujuan yang saya
dambakan untuk menstimulasikan kreatifitas dari warga. Kreatifitas yang berkembang di era industri
informasi saat ini telah meninggalkan komunitas produksi yang menolak melakukan
inovasi.
Ada dua hal yang saya amati menjadi penyebab stagnasi
tersebut. Pertama, kreatifitas ketika digandengan dengan paham kompetisi murni
cenderung memunculkan sifat individualisme untuk mendorong kemandirian produksi
seseorang. Pada sisi lain, di Indonesia penekanan terhadap solidaritas sosial
mendorong warga berkelompok dalam berproduksi yang kemudian mematikan
kreatifitas dan kemandirian individu untuk berkarya. Kemampuan untuk menempatkan keunikan individu
dalam sistem produksi bersama perlu dipikirkan mendalam karena fenomena ini
juga muncul pada era revolusi industry di Eropa tetapi tidak pernah
terselesaikan. Karl Marx dalam risetnya bahkan menunjukkan sisi alienasi dari
para pekerja industri karena aksesitas pengertian tidak dibukakan kepada mereka. Perancangan dikuasai oleh kelompok pekerja
terdidik sementara pekerja produksi yang dengan tekun menghasilkan barangnya
semata-mata berperan sebagai buruh.
Masyarakat “rasa” adalah komunitas yang saling berinteraksi
untuk menggunakan jasa pelayanan produksi yang dikembangkan secara bersama-sama
yang memungkinkan proses penukaran terjadi dalam dinamika bisnis yang
adil. Perlindungan kepada proses
penciptaan dalam cara produksi ketika penurunan ide dimunculkan pada bahan
perlu diberikan tempat yang layak. Tahun 2011 saya menyelenggarakan pameran di
Bentara Budaya Yogyakarta. Salah satu karya yang dipamerkan dihasilkan oleh tiga
perupa, yang masing-masing berperan dalam menurunkan ide, menjelaskannya pada
gambar dan mengerjakannya. Tiga proses produksi ini dihargai setara sebagai
mekanisme penciptaan yang memungkinkan prinsip keadilan diwujudkan. Jadi tampilan produk yang ikut dipamerkan
dengan judul “Bumi Menari” ditulis mengikutkan tiga nama perempuan yaitu,
Fabiola yang menurunkan ide saya dalam gambar, dan Martini yang mengerjakan ide
pada gambar untuk menghasilkan wujud fisiknya.
Dalam skala kecil, ketiga perempuan ini berkomitmen untuk membangun “masyarakat
rasa”. Penghargaan kepada Martini
dilakukan bukan sekedar melalui pembayaran dari seorang konseptor kepada
pengrajin tetapi juga dalam bentuk pengakuan terhadap tangan lembutnya
membentuk bambu merepresentasikan konsep “bumi menari”.
Keadilan dalam pertukaran global bisa dibentuk apabila ada
dorongan untuk menghasilkan komitmen dalam masyarakat. Pertimbangan keadilan
secara nilai jual sering kali berbenturan dengan praktek pembelian di mana
nilai uang bisa membeli hak cipta seseorang tanpa harus dijelaskan asal
usulnya. Bagian ini akan saya bahas
kemudian karena terkait dengan situasi di bawah sadar manusia dan prasangka
yang menghambat seseorang untuk terbuka mengakui keunikan pemikiran dan
produksi yang dihasilkan oleh orang lain. Jadi hambatan untuk membentuk
masyarakat “rasa” dimana kesatuan rangkaian produksi saling menguntungkan masih
bisa terjadi dalam masyarakat baik karena aspek ketidaktahuan maupun karena
kesadaran yang ada.
No comments:
Post a Comment